Judul tulisan ini sengaja menggunakan istilah perempuan dan tidak membuatnya spesifik seperti gadis, janda, atau lainnya. Karena menurut pengalamanku sendiri membedakan gadis atau bukan adalah hal yang sulit. Meskipun seandainya ada yang pasrah sambil bilang begini “Mas, silahkan kalau mau memeriksa kegadisanku. Aku pasrah mau diapakan saja”, aku tetap kesulitan untuk membuktikan ia gadis atau bukan. 😄
Aku punya cerita menarik mengenai dikejar-kejar perempuan. Cerita ini terjadi waktu aku masih kuliah di Surabaya. Pada sekitar semester pertengahan pada jenjang perkuliahanku dalam menempuh pendidikan S1.
Ketika aku kuliah di Unesa dulu, aku tinggal di sebuah asrama yang di sediakan organisasi Intra Kampus (UKM) yang berada di sekitar jalan Ketintang Barat II, Surabaya. Secara geografis, lokasi asrama ini terletak di sebelah barat kampus. Perjalananku ke/dari kampus sering kali menggunakan jalan pintas. Melewati kompleks perumahan dosen dan perumahan elit di kawasan Ketintang Wiyata.
Suatu hari, ketika perjalanan menuju asrama, di tengah terik mentari yang begitu menyengat, aku mendapat kesejukan yang tak terduga saat melintasi sebuah rumah di kawasan Ketintang Wiyata. Seorang perempuan bermata indah dan berparas cantik yang sedang santai di teras depan rumah membuat jantungku berdegub begitu kencang. Aku berkata dalam hati, “apakah ini yang dinamakan cinta pada pandangan pertama?”.
Pada mulanya, aku biasa saja ketika mendapati dia tampak acuh saat aku lewat depan rumahnya. Lama-lama aku merasa sebel juga. Rasanya diri ini kok tiada berharga sama sekali. Dilirik saja tidak apalagi sekedar disapa basa-basi.
Pagi itu, seorang dosen pengampu mata kuliah Psikologi Pendidikan, ibu Nur Hayati yang diimpor dari jurusan Bimbingan Konseling (BK) kampus Unesa Lidah Wetan menyampaikan teori-teori gagasan ilmuwan psikologi yang jamak digunakan pada dunia pendidikan. Salah satu yang membuatku tertarik adalah Ivan Petrovich Pavlov dari Rusia itu. Eksperimen Pavlov yang mengantarkannya mencetuskan teori classical conditioning seakan memberi nuansa baru. Kesukaanku dalam mempelajari psikologi kian bertambah. Porsi peminjaman buku-buku psikologi dari perpustakaan pusat Unesa kampus Ketintang, aku tingkatkan. Awalnya sirkulasi peminjaman buku bulanan terbagi 50% buku teknologi informatika, 25% buku geografi atau buku lain penunjang perkuliahan, 25% buku psikologi. Biasanya, buku psikologi hanya kupinjam 2 minggu sekali kini meningkat menjadi tiap minggu. 50% buku TI, 50% buku psikologi. Sedangkan buku penunjang perkuliahan hanya kupinjam saat ada tugas kuliah saja. 😄
Berbekal teori dari simbah Pavlov itu, aku merasa punya senjata baru untuk menarik perempuan yang acuh dan membuatku merasa tercampakkan itu. Aku pun mulai memikirkan cara untuk melancarkan aksi sepulang perkuliahan. Ide itu tampak mengalir begitu saja. Tanpa perlu waktu lama, aku sudah mengantongi ide (jiplakan) dari yang mulia gurunda Pavlov.
Sepulang kuliah, aku sempatkan diri untuk mampir ke sebuah warung yang berada di dalam kampus, dekat gedung Pasca Sarjana. Di sana aku membeli sesuatu untuk kuberikan pada perempuan itu. Ketika melewati depan rumah, kulihat ia sedang bercanda dengan adiknya (perkiraanku saja). Ia masih tetap sama, tak mau menoleh ke arahku. Aku pun kemudian meletakkan hadiah itu di depan pintu gerbang rumahnya yang sekira ia masih bisa menjangkaunya tanpa perlu keluar dari gerbang.
Hampir tiap hari aku mengulangi pemberian hadiah tanpa berusaha berujar sepatah kata pun atau hanya sekedar menyelipkan sederet kata pada hadiah itu. Lama-lama aku melihat ada gayung yang bersambut. Ia mulai memandangku ketika aku lewat depan rumahnya. Aku semakin semangat memberikan hadiah padanya. Semakin lama ia tampak semakin menunjukkan responnya yang agresif. Ketika aku lewat depan rumahnya, ia sering berlari ke arahku dan memanggilku. Aku menjadi GR dan berkata dalam hati, “belanda sudah semakin dekat, gan!”. Bayang-bayang kemenangan perang semakin jelas.
Suatu hari, sepulang kuliah, aku berjalan terburu-buru. Hari itu adalah jadwalku memasak di asrama. Aku kelupaan membelikan hadiah untuk si doi. Ketika hampir tiba di depan rumahnya, dari kejauhan, kulihat dia sedang berjalan santai dengan seorang bapak-bapak gagah. Ia tampak begitu asyik menikmati jalan santai itu sampai-sampai tak menyadari kalau aku ada di sana. Ketika hampir berpapasan, ia tampak terkejut, pandangan matanya yang tajam membuat jantungku berdebar begitu kuat. Tiba-tiba ia mengejarku yang membuat aku reflek melarikan diri menjauh darinya sekuat tenaga. Karena aku lupa membeli kepala ayam dari warung biasanya, tetiba otakku berinisiatif mengambil pulpen yang memang selalu kuselipkan pada saku baju. Pulpen itu kulemparkan pada perempuan itu dengan harapan bisa mengalihkan perhatiannya dan berhenti mengejarku. Dari kejauhan, ku dengar bapak-bapak yang tadi menemani perempuan itu setengah berteriak, “Ora usah mlayu, mas! Ora opo-opo.”. Ketika merasa situasi sudah aman dari kejaran, aku berhenti di sebuah pos ronda untuk beristirahat sebentar dan mengatur nafasku yang menggos-menggos. Aku misuh dalam batin, ” Pancen koe asoe tenan! Ngertio bakal koyo ngene, aku ra bakalan melu madzhabe Pavlov”.
Setelah kejadian itu, aku menjadi sangat berhati-hati kalau mau lewat depan rumah itu. Kalau aku melihat tidak ada tanda-tanda ada anjing itu di luar gerbang rumah maka aku lewat sana meskipun tetap dag-dig-dug. Tapi kalau ternyata ia ada di depan gerbang, aku milih mlipir lewat Ketintang Wiyata paling ujung yang tembus Ketintang Madya dekat kantor kelurahan. Wis pokoke ora kudu mbaleni maneh!
Piye mblo? Mau nyoba sendiri bagaimana sensasinya dikejar-kejar perempuan? Monggo.