Tidak Becus Baca Fatihah Tapi Berani Menyalahkan

Sebetulnya sudah sejak beberapa bulan yang lalu aku meminta kelonggaran waktu Abah untuk mengajariku membaca Al-Qur’an. Aku sangat tertarik ingin memiliki sanad Qur’an dari mbah kyai Arwani Kudus. Abah adalah murid langsung dari mbah Arwani. Menurut cerita abah, beliau ngaji kepada mbah Arwani setelah sebelumnya mondok di tempat lain dan sudah khatam hafalan Qur’an di sana. Abah mengaku membutuhkan waktu tiga minggu untuk bisa membaca surat Al-Fatihah. Berkali-kali mbah Arwani menggedor meja untuk memperingatkan kesalahan baca. Mendengar cerita abah itu, aku menjadi sangat bodoh. Lha wong abah saja yang sudah khatam Qur’an masih disalahkan apalagi aku?

Tadi malam, aku mendatangi abah untuk meminta diajari membaca Al-Qur’an. Sebelum abah siap memulai ngaji, aku utarakan kembali maksudku yaitu ingin belajar membaca Qur’an. Aku katakan pada ibu bahwa aku tidak betah menjadi orang goblok. Aku pengen belajar membaca Al-Qur’an. Setelah abah datang kemudian memimpin untuk membaca hadloroh fatihah beberapa kali. Setelah itu, abah memintaku untuk memulai ngaji dengan membaca Robisyrohli. Dilanjut dengan taawud, bismillah, kemudian baru fatihah. Abah memberikan contoh bacaan pada masing-masing bacaan itu kemudian aku diminta untuk menirukan.

Tidak Ada Satu Ayat Pun Yang Benar

Abah memberikan contoh membaca ayat pertama kemudian aku diminta menirukan bacaan itu. Berkali-kali mencoba membacanya tapi berkali-kali pula selalu disalahkan. Membaca bismillah saja sampai diulang berkali-kali karena memang tidak tepat. Ayat-ayat yang lain pun demikian.

Kesalahan paling banyak terletak pada makhorijul huruf. Makhroj-makhroj yang menjadi masalah bagiku masih banyak di antaranya saat itu yang paling disoroti abah adalah makhroj ح , هـ , س , ض , ع, ر ,ي, dan ص.  Makhroj paling susah dilafalkan adalah huruf ض.

Kesalahan demi kesalahan yang ditunjukkan abah membuatku merasa sama sekali tidak memiliki ilmu membaca Qur’an. Saat itu, aku ingin bilang pada abah untuk mengajari baca IQRO’ saja daripada baca fatihah salah terus tapi tidak berani. Aku manut saja pada abah untuk menentukan apa-apa yang perlu diajarkan dan metode apa yang perlu digunakan. Aku merasa tidak perlu mengajari abah untuk urusan itu.

Menggunakan Qur’an Terbitan Kudus

Abah mengatakan kalau untuk belajar membaca Al-Qur’an dengan abah perlu menggunakan Qur’an terbitan Kudus. Abah bercerita, saat memulai mengaji dengan mbah Arwani dulu, beliau ditanya apakah sudah memiliki Qur’an kudus dan jika belum maka abah dilarang mengaji sampai beliau memiliki Qur’an tersebut.

Aku merasa tidak perlu bertanya mengapa harus menggunakan Qur’an kudus. Aku hanya perlu sami’na waatho’na untuk masalah ini. Untungnya aku seudah membeli Qur’an kudus sebelum abah mengatakan hal itu. Jadi aku tetap bisa melanjutkan belajar membaca Al-Qu’an.

Menyadari Kegoblokan Diri Sendiri

Abah tiba-tiba membaca shodaqollahul adzim untuk menandai ngaji pada malam hari itu sudah selesai. Abah berkata kalau bacaan al-fatihahku masih jauh dari benar dan perlu diulang pada pertemuan berikutnya. Saat itu, aku benar-benar merasa menjadi orang yang tidak memiliki ilmu baca Qur’an sama sekali. Lalu aku membayangkan pernah menjadi imam sholat di musholla dan masjid dan sampai hari ini setiap hari masih ngimami sholat. Aku menjadi ketakutan.

Aku pun ingat tiap sore aku mengajari ngaji penyanggar yang datang ke Sanggar Pelangi. Bagaimana mungkin orang goblok seperti aku ini mengajari orang lain? Lha wong aku sendiri belum bisa membaca fatihah lha kok berani-beraninya menyalahkan orang lain saat membaca fatihah. Aku sendiri belum selesai mengurusi kegoblokan diriku sendiri dan aku tentu tidak pantas mengurusi kegoblokan orang lain. Aku pun bertanya pada abah tentang hal itu.

Abah menjawab tidak apa-apa. Biarkan mereka tetap mengaji. Mereka sudah mau belajar mengaji itu sudah bagus meskipun belum sesuai kaidah yang benar. Tapi jangan lupa sampaikan pada mereka bahwa apa yang dipelajari itu baru sebatas bisa baca dan belum sesuai kaidah yang benar. Jika ingin bisa membaca Qur’an sesuai kaidah yang benar harus berguru lagi pada yang lebih ahlinya.

Mendengar jawaban abah itu, aku menjadi lebih yakin untuk seperti sekarang ini yaitu pasif. Tidak berusaha mencari pengaruh atau mencari murid yang banyak. Kalau ada yang datang ya diajar kalau tidak ada ya belajar sendiri. Lha wong sadar diri sendiri masih goblok kok gak berusaha mengolah kegoblokan itu malah mengurusi kegoblokan orang lain kan aneh.

Pelajaran membaca fatihah malam itu membuatku sadar bahwa perjuangan untuk mendapatkan ilmu memang tidaklah instan. Aku tidak berfikir berapa lama waktu yang kubutuhkan untuk khatam membaca al-qur’an. Fokusku bukan itu melainkan setiap masih ada nafas dan waktu ya harus selalu belajar. Aku tidak mau menjadi orang tua yang hanya semangat mengurusi kegoblokan anak akan tetapi tidak diikuti untuk menghilangkan kegoblokan diri sendiri. Kalau sampai si K menghabiskan ilmuku sebelum ia lulus SD maka aku akan membersamainya sekolah. Aku akan ikut sekolah si K untuk sama-sama menghilangkan kegoblokan yang ada pada diri masing-masing.

Ahmad Budairi
Ahmad Budairihttps://bloggersejoli.com/
Seorang Web developer yang suka menulis artikel di blog. Kader Penggerak Nahdlatul Ulama (NU)

Bacaan Menarik Lainnya

Baru Terbit