Sebelum membahas panjang lebar mengenai tema suka berlagak sok kaya dan penyakit jiwa ini alangkah baiknya aku sebagai admin blog Nusagates mengucapkan selamat menjalankan ibadah puasa hari terakhir bagi pengunjung blog yang menjalankannya. Mohon maaf lahir dan batin jika selama aku menuliskan catatan-catatan di Nusagates ada sedikit atau banyak kata maupun kalimat yang menyinggung perasaan, konten-konten yang tidak berkenan, metodologi yang kurang pas sehingga menyebabkan sedikit keributan.
تقبل الله منا ومنكم صيامنا و صيامكم، من العائد والفائز
Menjelang hari raya Idul Fitri ini tampak semakin ramai pengguna sosial media mewarnainya dengan foto mupun video aneka persiapan di hari raya. Demikian pula di pusat-pusat perbelanjaan di kota Salatiga, segala macam pernik yang disiapkan untuk menyambut konsumen yang hendak beraya memenuhi beberapa sudut ruangan utama. Aku pun tak kuasa untuk meminang gadis cantik yang menjadi sales beberapa jenis kue yang berjejer di sana.
Setiap hari raya akan tiba, aku sering kali melihat fenomena-fenomena sosial sok-sokan kaya yang tampaknya semakin menjamur di tengah berkembangnya teknologi sosial media. Dikit-dikit pamer foto belahan dada sedang di pusat perbelanjaan, sedang antri di bank, sedang mencoba kendaraan baru, perhiasan baru, handphone baru, atau baju baru. Padahal! Di kehidupan sehari-hari yang sebetulnya, kehidupannya sangat memprihatinkan.
Pada fase yang lain, di sisi kehidupan dengan strata sosial berbeda, seseorang berusaha mencari pengakuan diri dengan gaya sok penting dengan memamerkan foto sedang tadarusan, didaulat menjadi imam tarawih, jadi amil zakat, buka puasa bersama pejabat A, ustadz B, pengusaha C, atau manusia lainnya yang dipandang memiliki wibawa dan pengaruh terhadap masyarakat. Strategi menjual diri marketing yang murah meriah memang.
Maqom atau tingkatan para pencari takjil pengakuan ini tentu beragam. Ada yang maqomnya masih unyu-unyu alias wagu untuk ditonton pemirsah. Ada yang sudah pada tingkatan expert dan perilaku sok kaya yang dilakukan begitu meyakinkan bahwasannya kehidupan yang digambarkan melalui sosial media itu adalah kenyataan. Padahal bukan!
Kebiasaan sok kaya yang sudah mendarah daging pada peri kehidupan seseorang bisa menimbulkan kecemasan manakala ada satu atau dua orang yang diluar kendali mengetahui kehidupannya yang sebenarnya. Misalnya ketika seseorang pamer foto pacar baru di dalam mobil dengan mempertontonkan dashboardnya yang menawan untuk mencari pengakuan ia punya mobil bagus lalu beberapa saat kemudian ada yang mengabarkan kalau itu adalah mobil pinjaman dan ditulis di kolom komentar maka si doi akan merasa cemas dan malu. Ia cemas kalau gara-gara komentar itu akan membuat banyak orang tahu akan kondisi kehidupan yang sebenarnya. Kecemasan yang berlebihan akan membuatnya memilih ngacir daripada menanggapi komentar tersebut dengan guyonan. Jika kecemasan itu sudah mencapai level akut maka biasanya komentar yang berpotensi menjatuhkan usahanya untuk dianggap kaya akan dihapus. Lebih parah lagi pembuat komentar akan diblokir dari daftar penerima zakat pertemanan.
Merasa cemas ketika ketahuan tidak kaya, malu mengakui kondisi sebenarnya, selalu menghindari teman yang mengetahui kondisi sebarnya dan tidak bisa diajak kompromi, melakukan apa saja agar tampak wah adalah gejala-gejala penyakit kejiwaan yang perlu penanganan. Jika tidak ditangani dengan serius maka gaya hidup seperti ini akan berpotensi mencelakakan diri sendiri atau orang lain. Misalnya: seorang yang ingin dianggap kaya dengan nekat menjadi selingkuhan orang lain.
Wes lah.. pokoknya begituuuh itu.