Menikah dengan pasangan yang asyik terus tinggal di rumah idaman adalah impian banyak orang. Apapun alasannya, tinggal bersama pasangan di rumah sendiri (tidak numpang di rumah orang tua) adalah hal yang sangat diinginkan. Bukan begitu?
Dulu, aku juga sempat berencana mufaroqoh (pisah) dengan orang tua. Mencari tempat yang aku rasa suasananya NU banget untuk membantu mengembalikan sepirit mengaji yang tampaknya memudar. Alasanku waktu itu karena tidak lain dan tidak bukan karena ada masalah internal keluarga. Aku berpikir daripada prahara dalam keluarga semakin besar alangkah baiknya aku yang memutuskan pindah ke lain tempat. Namun agaknya Allah tidak merestui rencana kami. Beberapa kontrakan yang ditawarkan tidak sesuai dengan kriteria yang kami cari. Akhirnya rencana itu diurungkan.
Saat ini, aku, istri, dan anak tinggal di rumah orang tua (mertuaku). Mereka sangat asyik dan care pada anak-anaknya. Tidak hanya anak yang tinggal serumah dengannya tapi juga pada anak lain yang tinggal di rumah miliknya masing-masing. Meskipun begitu namanya kehidupan pasti tetap ada gejolak-gejolak yang membuat hubungan merenggang sesaat tapi kembali menguat di waktu lainnya.
Masalah Yang Sering Muncul
Masalah-masalah yang sering kami hadapi sebetulnya berawal dari kurangnya komunikasi. Hal ini membuat antara aku dengan orang tua sering kali menerka-nerka apa yang diinginkan antara satu yang lainnya. Aku menerka apa yang diinginkan orang tua dan sebaliknya. Sehingga terjadilah otak-atik gathuk yang menyebabkan adanya mispersepsi dari perilaku masing-masing.
Masalah Tata Kelola Rumah
Ini sering terjadi manakala aku dengan orang tua memiliki perbedaan selera dalam menerapkan layout perabotan rumah. Beberapa kali aku membuat layout sesuai keinginanku tetapi kemudian dianulir oleh orang tua tanpa memberitahuku. Bodohnya aku, tidak mau belajar dari hal ini dan berusaha memahami sisi artistik yang diterapkan orang tua malah takut untuk mengekspresikan apa yang aku inginkan. Takut dianulir lagi. Seperti merasa serba salah. Jadi, untuk sementara aku sangat pasif. Tidak bergerak jika tidak ada perintah.
Hubungan Sosial
Cara menjalin hubungan sosial dengan tetangga seringkali memicu masalah. Hal ini dikarenakan aku menggunakan cara yang berbeda dari umumnya yang digunakan sehingga tampak aneh dan kurang pas menurut sebagian orang. Misalnya bagaimana cara menjenguk orang sakit, menghadiri undangan pernikahan, takziyah, menghadiri undangan kenduri, dan lain-lain. Hal ini terkadang bisa menjadi sedikit masalah.
Keuangan
Sebetulnya ini secara langsung tidak pernah memicu masalah. Hanya saja adanya perbedaan pendapatan sering kali menjadi penyebab munculnya sumber masalah. Tapi aku tidak bisa menulisnya di sini. Pokoknya ada.
Pendidikan Anak
Persepsi mengenai pendidikan pada anak yang berbeda juga terkadang menjadi sumber masalah. Umumnya kakek/nenek sangat sayang pada cucunya yang berujung pada memanjakan si cucu. Hal itu wajar makanya jadi masalah karena aku tidak ingin anak-anakku dimanja.
Kenapa Bertahan Numpang Di Rumah Orang Tua?
Jawabannya simpel sih. Gak kuat bangun rumah, gak kuat sewa kontrakan, gak kuat bayar kos. 😀
Jujur saja, aku heran ketika melihat teman-temanku merasa malu ketika setelah menikah tetapi masih tinggal bersama orang tua. Malu dianggap tidak bisa mandiri. Malu dianggap jadi benalu. Malu dianggap ini itu.
Apakah aku tidak malu? Ya malu sih. Malu jika selama tinggal bersama mereka tetapi tidak bisa membahagiakan. Malu jika membuat orang tua ikut menanggung masalahku. Malu jika aku menjadi penyebab mereka kehilangan senyuman. Tapi kalau aku diminta pindah hanya untuk menuruti gengsi maka akan aku tolak dengan tegas.
Aku sangat menyayangi orang tua kandungku. Setiap usia sholat, doa untuknya tak pernah sekalipun terlewat. Terkadang malah itu menjadi doa satu-satunya yang kupanjatkan usai sholat ketika rasa malas menjangkit. Itulah hidmah yang bisa kulakukan saat berada jauh dari mereka.
Di sini, di rumah orang tua sambungan, aku berusaha hidmah sepenuhnya pada mertua. Aku berharap dengan hidmah yang kulakukan itu dibalas oleh Allah dengan balasan yang lebih baik pada orang tua kandungku. Jadi, aku memperlakukan mertua sama persis sebagaimana aku memperlakukan orang tua kandungku. Kalau aku bisa dengan mudah akrab ketika bertemu tetangga atau orang lain yang usianya lebih tua dariku karena kuanggap mereka seperti orang tua sendiri. Kenapa aku sulit melakukannya kepada mertua sendiri?
Dialog dalam diri paling mengena yang membuatku bertahan di rumah orang tua adalah: “Kalau aku tidak bisa hidmah kepada orang tua bagimana mungkin aku bisa berhidmah kepada masyarakat? Bukankah benteng pertahanan utama itu terletak pada keluarga? Sebaliknya jika aku tinggal bersama orang tua untuk mencari penghidupan (cari zona aman), boleh jadi ketika hidmah kepada masyarakat juga untuk mencari penghidupan. Bukan hidmah sebagaimana yang diajarkan romo yai.” Jadi, selain aku belajar berhidmah dari sini, aku juga bisa belajar menghadapi masalah. Bukan menghindarinya.
Mumpung orang tua masih diperkenankan hidup mendampingiku, aku ingin berbuat sesuatu yang lebih pada mereka. Perjuangan mereka untuk membesarkanku/istriku tidaklah segampang seperti menulis artikel ini. Kalau aku mufaroqoh dengan mereka belum tentu bisa mengantarnya pergi ke suatu tempat, mewakilinya acara hajatan, membelikan makanan kesukaannya, menjaga senyumannya agar tetap merekah sebanyak seperti ketika aku tinggal bersama mereka.
Kalau artkel ini dianggap alibi atau pleidoi, ya silahkan saja. Mungkin memang benar adanya.