Di Indonesia terdapat banyak stereotip orang desa yang beredar di masyarakat luas. kata-kata klise yang digunakan untuk merujuk orang-orang desa cenderung merendahkan. Kita tahu adanya istilah-istilah seperti kampungan, dasar ndeso, anak kampung, dan sejenisnya sering kali digunakan untuk merendahkan seseorang maupun kelompok orang. Beberapa stereotip orang desa yang sering aku temukan adalah sebagai berikut:
Miskin
Ketika ada orang membahasa mengenai orang desa, asumsi pertama kali muncul di benak adalah orang desa itu miskin. Padahal anggapan itu tidak sepenuhnya benar. Memang kalau dilihat dari aktivitas perputaran uang di desa tidak secepat perputaran uang yang ada di kota-kota. Tetapi, ini tidak bisa dijadikan indikator secara global untuk menilai bahwa orang desa itu miskin.
Praktik barter untuk mendapatkan barang ekonomi yang dibutuhkan masih berlaku di desa. Hal ini menjadi salah satu penyebab perputaran uang di desa tidak cepat. Misalnya orang bisa membeli ayam dengan beras, membeli pupuk dengan jagung, atau menukarkan sapi dengan sepeda motor.
Baca Juga: Tips Mendapat Penghasilan Dari Fiverr
Jika orang kota dinyatakan kaya dengan memiliki banyak aset dan tabungan di bank maka orang desa juga bisa begitu. Hanya saja pola investasinya berbeda. Orang desa lebih cenderung menginvestasikan hartanya dengan sesuatu yang riil. Misalnya dengan membeli hewan ternak, sawah. kebun, tambak, atau perahu untuk nelayan. Menyimpan uang di bank memang masih belum sepenuhnya menjadi gaya hidup orang desa namun hal ini tentu tidak bisa dijadikan alasan untuk memberikan stigma bahwa orang desa itu miskin. padahal! pola investasi orang desa itu lebih aman dibandingkan dengan menyimpan kekayaan di bank, misalnya dengan deposito. Karena mata uang bisa mengalami inflasi yang sangat tajam dan hal itu bisa sewaktu-waktu terjadi.
Bodoh
Selain miskin, orang desa juga sering dilabeli dengan “bodoh”. Kita tahu memang pemerataan pendidikan di Indonesia belum sepenuhnya berhasil. Apesnya di daerah pedesaan yang jauh dari pusat kota biasanya cenderung tertinggal dalam hal bantuan pendidikan seperti dianaktirikan. Namun apa benar bahwa orang desa itu bodoh? Tidak sepenuhnya benar.
Jika orang desa dianggap bodoh karena tidak menguasai ilmu-ilmu yang diajarkan pada sekolah formal hingga perguruan tinggi mungkin ada benarnya bagi sekelompok orang desa. Namun hal ini tidak berlaku jika indikator keilmuan yang digunakan lebih luas.
Orang desa, di jawa pada umumnya, bisa membuat arsitektur rumah meskipun tidak perlu kuliah teknik sipil atau teknik bangunan. Mereka bisa menggarap sawah, ladang, dan kebun tanpa perlu kuliah jurusan pertanian dan hasil panennya bisa digunakan untuk menyuplai kebutuhan pangan nasional. Orang desa bisa membudidayakan ternak tanpa harus kuliah di jurusan peternakan dan hasilnya bisa untuk menyuplai kebutuhan daging masyarakat perkotaan. Apakah orang yang tanpa kuliah bisa melakukan hal yang setara dengan lulusan kuliah dikatakan sebagai orang bodoh? Karepmu!
Baca juga: Menikah Tidak Menghambat Kuliah
Orang desa mudah diakali oleh orang-orang “kota” bukan karena mereka bodoh. Tetapi memang secara umum, konsep kehidupan yang dianut adalah nerimo ing pandum (menermima kenyataan). Jadi secara umum masih sangat tinggi kekuatan spiritualnya sehingga hal-hal itu sering dianggap suatu kebodohan karena mengalahkan logika.
Suka Tahayul
Orang-orang yang suka dengan hal-hal klenik atau tahayul termasuk orang desa sering kali dianggap rendah karena hal itu menyimpang dari kebiasaan orang-orang yang mengenyam pendidikan tinggi di sekolah formal. Namun apakah orang desa menyukai hal-hal klenik dan membuatnya jauh dari keilmuan? hal ini juga tidak sepenuhnya benar. Intinya, secara umum orang yang percaya tahayul dianggap jauh dari kemampuan berlogika.
Masyarakat jawa secara umum memercahai tahayul tetapi kenyataannya kegiatan literasi dan kebudayaan di Jawa sangat tinggi. Buktinya orang jawa mampu membuat aksara jawa, ada babad-babad, prasasti, dan peninggalan lain yang berhubungan dengan budaya literasi seperti kitab palalindu yang membahas tentang gempa, kitab tentang astronomi, kitab tentang pembuatan senjata, kitab tentang pelayaran. Aku lupa nama-nama kitabnya. Untuk lebih jelas silahkan baca buku Atlas Walisongo karangan Agus Sunyoto. Selain itu, jawa juga kaya akan bahasa. Mulai dari jawa Timur sampai Jawa barat terdapat bermacam-macam bahasa. Ada bahasa Madura yang dibagi menjadi beberapa tingkatan (aku lupa tingkatannya). Ada bahasa jawa yang dibagi menjadi beberapa tingkatan (ngoko, kromo inggil, kromo alus). Ada bahasa Sunda yang juga dibagi menjadi beberapa tingkatan (undak usuk). Apakah masyarakat yang mampu membuat aksara, menciptakan bahasa, dan membuat buku-buku meskipun menyukai tahayul dianggap sebagai orang yang nir-akal?
Sebetulnya masih banyak stereotip orang desa yang terkesan merendahkan. Tetapi, aku mau ganti acara. Mungkin bisa disambung pada artikel berikutnya. Setuju?