Di zaman yang membuat manusia ingin selalu dimanja oleh teknologi ini rasanya sangat sulit mencari musholla yang tidak menggunakan mikrofon untuk mengumandangkan Adzan maupun keperluan pengajian. Mikrofon seakan menjadi kebutuhan utama untuk memanggil jamaah untuk beribadah maupun menyampaikan pengumuman.
Melalui pengeras suara, kumandang adzan bergema ke seluruh penjuru. Sahut-sahutan kumandang adzan antar musholla dan masjid menjadi penanda waktu sholat telah tiba. Bagi seorang muslim, suara itu tentu menyenangkan. Namun bagi non muslim belum tentu mereka merasa begitu.
Musholla An-nur adalah salah satu musholla yang saban hari mengumandangkan adzan melalui pengeras suara. Namun, selama aku pindah ke Salatiga (sekitar 2 tahun), aku baru 2 kali adzan di musholla ini. ???? Itu pun karena terpaksa. Aku memilih menghindar jika disuruh adzan bukan karena benci menggunakan pengeras suara atau malu, lho. Lha wong dulu ketika masih aktif jadi Mahasiswa aku setiap hari adzan entah di Masjid kampus, musholla sebelah kampus, atau di musholla pondok. Lalu kenapa sekarang menghindar? Karena takut kalau ada yang pengen menjadikanku menantu lagi. Wkwkwkwk just kidding.
“Eh, dik, Musholla ki sing ilang mik-e tok opo sak ampline (Eh, dik, di musholla itu yang hilang mikrofonnya saja apa sekaligus amplifiernya?”, tanya mbak ipar padaku beberapa hari yang lalu. Aku bengong ditanya seperti itu soalnya dua hari sebelumnya aku masih menggunakan mikrofon untuk memimpin yasinan. Aku meliburkan diri ke musholla selama dua hari ketika sedang sakit (kutulis di artikel dengan judul butuh istirahat).
Mendengar ada sesuatu yang hilang, aku langsung meluncur ke rumah takmir musholla, pak Walidi. Sesampainya di sana, aku mendapat penjelasan kalau yang hilang mikrofonya saja. Kabelnya masih utuh. Aku kemudian tanya, “lha mik ingkang biasane didhamel imam gih ical? (Lha mikrofon yang biasanya digunakan imam hilang juga?)”. Pak Walidi malah bengong sesaat kemudian menjawab, “oh iyo yo. Aku kok malah gak kepikiran iku yo. (Oh iya ya. Aku kok malah tidak kepikiran mikrofon itu ya).”. Memang mikrofon untuk imam biasanya digunakan hanya ketika jamaah sholat tarawih saja karena jamaahnya banyak. “Menawi ical gih bearti sing mundut pun semerap arae (Kalau hilang bearti yang mengambil sudah tahu medannya)”, kataku memyambung.
Waktu maghrib tiba, kami bergegas ke musholla. Pak Walidi adzan tanpa menggunakan mikrofon. Setelah menunggu jamaah beberapa saat, pak Walidi mengumandangkan Iqomah. Itu tandanya aku yang disuruh jadi imam sholat.
Usai sholat maghrib dan dzikir berjamaah, acara pembacaan maulid diba’ dan maulid barzanji dalam rangka menyambut kelahiran Baginda Nabi (Maulidurrosul) dimulai tanpa menggunakan mikrofon. Kulihat jamaahnya tidak berkurang. Masih tetap sama seperti ketika mikrofon belum hilang. Jadi, aku menyimpulkan kalau mikrofon itu sebetulnya gak begitu berguna juga. Hanya saja ada yang mengatakan kalau salah satu jamaah tidak ke musholla ketika Subuh setelah mikrofon hilang. Kalau tidak mendengar adzan dari musholla katanya takut mau ke musholla. Takut terlambat karena beliau sudah sangat tua dan jalannya sangat pelan.
Jamaah yang memang rajin ke Musholla tampak adem-adem saja melihat mikrofon hilang. Seperti tak terjadi apa-apa. Musyawarah untuk beli mikrofon baru pun tidak ada. Malahan keramaian pembahasan mikrofon hilang terjadi di luar musholla oleh orang-orang yang jarang pergi ke musholla.
Empat hari musholla An-nur beroperasi tanpa menggunakan mikrofon bukanlah suatu kesengajaan. Kas musholla sebetulnya lebih dari cukup kalau hanya untuk membeli 3 buah mikrofon. Tetapi mengapa hal itu belum dilakukan? Jawabnya ada di ujung langit.