Sang Pemecah Keheningan

Sudah menjadi kebiasaan satuan pendidikan yang kutempati menimba ilmu waktu itu mengadakan acara perkemahan akhir pekan menjelang hari raya Idul Adha. Saat itu, aku merupakan siswa baru yang diwajibkan mengikuti perkemahan tersebut. Meskipun sebenarnya aku paling tidak suka acara-acara seperti itu akhirnya terpaksa ikut juga karena ada ancaman hukuman kalau nekat tidak ikut kemah.

Perkemahan berjalan terasa sangat lambat. Lha wong aku memang tidak suka acara begituan. 2 hari mengikuti perkemahan rasanya seperti berminggu-minggu di sana. Apalagi aku didaulat menjadi wakil ketua regu yang sengaja dikerjai oleh ketua regu yang kebetulan memang kanca kenthel (sahabat karib). Apes.

Malam inagurasi, anggota regu tidak ada yang sudi ditunjuk menjadi perwakilan untuk mementaskan seni. Walhasil, lagi-lagi, aku lagi yang harus maju bersama ketua regu. Waktu itu, kebetulan, aku sama ketua regu adalah seperguruan di pencak silat Perisai Diri (PD). Pertunjukkan yang kami tampilkan adalah jurus pasangan A dan B level satu yang kami dapat dari perguruan. Saling menyerang dan menghindar.

Maghfur Hadi namanya. Dia adalah ketua regu yang super jenius. Ia selalu mendapat juara kelas berebut dengan Dwi Setyo Rini yang sangat rajin menulis, membaca, dan menabung. Maghfur, begitu biasa aku memanggilnya, dengan kejeniusannya sering menjadi harapan utama ketika kami mendapat PR matematika. Kalau dia tidak masuk sekolah saat ada PR matematika maka seluruh teman laki-laki akan kena marah karena tidak mengerjakan PR. Si Rini dan kawan perempuan sih aman. Mereka kompak tapi pelit memberi contekan pada kami. Huh!

Kembali ke perkemahan. Sore hari menjelang malam terakhir kemah, kakak pembina memberikan instruksi kepada kami untuk menuliskan kesan dan pesan maupun surat cinta kepada kakak pembina. Si kampret Maghfur protes kepada kakak pembina. Kok ada statement surat cinta segala. Maksudbya apa? Dia berusaha meminta penjelasan. Tapi, ya gitu, karena dia termasuk murid baru anunya protesnya tidak berarti apa-apa.

Malam hari, sesusai sholat isya’ berjamaah, kakak pembina tampak marah, dengan nada emosi, mereka memanggil kami untuk berkumpul di salah satu gedung sekolahan. Maklumlah kemah kita kan tidak dihutan melainkan di halaman sekolah. Kami bertanya-tanya, “ada apa ini? Kok sepertinya situasinya genting. Ada yang hamil salah kah?”. Batin kami.

Kami pun berkumpul ke sumber suara dengan pakaian seadanya. Tanpa seragam pramuka lengkap. Maklum. Kan baru selesai sholat jamaah. Iya to?

Di dalam ruangan itu, kakak pembina marah besar. Ada salah satu kakak pembina yang tampak menangis. “Jangan-jangan kaka itu menangis karena hamil patah hati.”, batinku. Aku mengenalnya. Dia memiliki banyak pacar. Salah satunya ya si anu.

Duor… seorang kakak pembina menggebrak meja kemudian bertanya dengan nada tinggi, “Siapa yang menulis ini?”, tanya kakak itu sambil menunjukkan selembar kertas yang tak bisa kubaca apa isinya.

Seorang kakak pembina perempuan diminta membacakan isi tulisan tersebut. Kakak itu mengatakan kalau kertas yang dibawanya itu ditulis oleh salah satu di antara kami untuk memenuhi tugas mengumpulkan kesan dan pesan yang diadakan sore sebelumnya. Belum juga tulisan pada kertas tersebut dibaca malah si kakak ikut menangis.

Kakak pembina laki-laki lain datang. Ia tampak berapi-api memarahi kami. Dia meminta pembuat tulisan itu segera mengaku. Kalau tidak maka semua siswa akan kena getahnya.

“Siapa yang tega menulis ‘lonthe Asih maukah jadi pacarku’?”, tanyanya dengan nada emosi yang menakutkan. Seorang kakak pembina tampak berusaha menenangkannya.

Di tengah-tengah keheningan. Si brengsek Maghfur berbisik padaku, “eh… kowe ngakuo (eh kamu mengakulah). Daripada semua kena marah”. Kampret bener! Lha wong dia tahu apa yang kutulis pada tugas pesan dan kesan tidak seperti itu kok malah disuruh mengaku apa yang tidak kulakukan. “Ra sudi!”, jawabku ketus.

“Tiiiiiiiiiiìit….”. Seorang teman perempuan tak kuasa menahan kentutnya yang nyaring. Meskipun ditahan sekuat tenaga akhirnya tetap kebobolan juga. Suara itu sejenak membuat kami lupa kalau sedang dimarahi kakak pembina dan membuat kami tertawa secara berjamaah.

Kakak pembina berusaha menguasai suasana lagi. Kami disuruh diam dan menahan tawa. Sesuatu yang sulit kami lakukan waktu itu. Kakak pembina yang tak kuat menahan tawa tampak berlarian keluar agar tidak mengganggu aksi marah-marah kakak yang di dalam.

Belum juga kakak pembina menguasai suasana sepenuhnya, suara kentut yang nyaring itu terdengar lagi. Kali ini terdengar lebih keras dan beruntun seperti sandi morse “tit…. tiiiiit… tit…”. Kentut yang kedua ini berhasil menjebol pertahanan kakak pembina untuk tidak tertawa. Sepertinya hampir semua yang ada di ruangan ikut tertawa. Kalau yang kentut gak tahu sih.

Akhirnya kakak pembina mengaku kalau aksi marah-marah yang gagal karena kentut itu sebetulnya hanya rekayasa. Dilakukan untuk memberi kejutan pada peserta yang saat itu sedang ulang tahun, katanya. “Jiangkrik, koen!”, batinku.

Ahmad Budairi
Ahmad Budairihttps://bloggersejoli.com/
Seorang Web developer yang suka menulis artikel di blog. Kader Penggerak Nahdlatul Ulama (NU)

Bacaan Menarik Lainnya

1 KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Baru Terbit