Hidup di tengah-tengah masyarakat yang memiliki budaya luhur adalah suatu kenikmatan. Budaya sosial dengan mengedepankan solidaritas antar masyarakat serasa menjadi tolok ukur keberhasilan dalam menjalankan perintah nabi dalam hal bertetangga yaitu bergaul dengan baik, saling mengasihi dan menyayangi.
Masyarakat Indonesia khususnya Jawa (sesuai pengetahuan penulis) memiliki budaya tolong menolong ketika ada anggota masyarakat mengadakan hajatan atau ketika tertimpa musibah. Bentuk tolong menolong ketika ada yang mengadakan hajatan itu memiliki istilah yang beragam di sejumlah daerah di Jawa antara lain: buwuh (buwoh), ngaris, nyumbang yang dapat dimaknai dengan memberikan sesuatu berupa barang atau uang kepada anggota masyarakat yang sedang mengadakan hajatan.
Hajatan dalam terminologi yang digunakan orang jawa memiliki makna mengadakan suatu upacara keagamaan yang biasanya diiringi dengan pesta atau biasa juga di sebut walimah. Bentuk-bentuk walimah ini beragam antara lain: walimah khitan, walimah ursy, walimah aqiqoh, dsb. Selain walimah, istilah lain yang digunakan orang jawa untuk menyebut makna yang serumpun dengan hajatan adalah mantu, ewoh, gawe, sunat/khitan, brokohan dll.
Budaya nyumbang itu sejatinya sangat bagus. Hanya saja ada pelaku budaya yang tujuannya sedikit bergeser dalam melakukan perannya yaitu nyumbang untuk disumbang. Bergesernya tujuan nyumbang ini berimplikasi adanya saldo sosial yaitu semacam tabungan sosial yang dapat dicairkan ketika pemilik saldo mengadakan acara walimahan atau hajatan. Pelaku budaya model ini biasanya akan tebang pilih ketika nyumbang. Anggota masyarakat yang sekiranya dianggap tidak mampu untuk dititipi saldo sosial (gantian menyumbang) tidak akan disumbang atau kalaupun disumbang nilainya jauh lebih kecil daripada sumbangan yang diberikan pada anggota masyarakat yang dianggap layak dan mampu untuk bergantian nyumbang pada saat ia mengadakan hajatan kelak. Hal ini terjadi karena fokus utamanya dalam mengikuti budaya nyumbang adalah provit oriented.
Sitiap budaya sosial memiliki kontrol sosial. Bentuk kontrol sosial itu yang paling banyak didapati adalah pemberian sanksi pada anggota masyarakat yang melakukan penyimpangan budaya. Salah satu bentuk sanksi sosial yang paling banyak berlaku di Indonesia khususnya masyarakat jawa (sesuai pengetahuan penulis) adalah berupa gunjingan. Termasuk budaya nyumbang ini juga berlaku sanksi berupa gunjingan manakala ada anggota masyarakat yang dianggap melanggar peraturan budaya seperti misalnya: ketika ada anggota masyarakat yang tidak pernah atau jarang ikut nyumbang tetapi sering mengadakan hajatan dan mengundang anggota masyarakat lain untuk nyumbang maka anggota masyarakat tersebut biasanya akan dipergunjingkan.
Budaya hajatan yang disertai dengan budaya nyumbang ini berdampak pada tatanan ekonomi masyarakat Indonesia. Banyak anggota masyarakat yang mengadakan hajatan disertai dengan pesta besar-besaran meskipun modal yang digunakan untuk hal itu meminjam dari bank. Pesta yang diadakan anggota masyarakat tersebut biasanya mengandung unsur isrof (berlebih-lebihan) yang menyebabkan adanya banyak makanan sisa dibuang percuma. Terlebih lagi apabila banyak anggota masyarakat yang datang untuk menyumbang bersikap jaim dengan memakan makanan yang disuguhkan beberapa sendok saja dan meninggalkan sisa. Makanan sisa itu jika diakumulasikan dari semua anggota masyarakat yang mengadakan hajatan dalam kurun waktu setahun akan cukup fantastis kuantitasnya. Hitungannya begini: jika misalnya setiap penyumbang meninggalkan sisa makanan satu sendok maka jika jumlah rata-rata penyumbang pada satu acara hajatan adalah 1000 orang maka akan terkumpul 1000 sendok sisa makanan. Jika dalam setahun misalnya ada 50 orang yang mengadakan hajatan maka akan terkumpul 50000 sendok makanan. Bisa dibayangkan makanan sebanyak itu bisa membantu berapa anggota masyarakat yang kelaparan? Padahal! Itu hanya estimasi paling minim. Realitasnya setiap minggu biasanya diadakan beberapa kali acara yang disertai dengan penjamuan tamu seperti tahlilan, yasinan, atau bentuk kenduri-kenduri lainnya.
Di sisi lain perilaku para penyumbang pun berdampak pada tatanan ekonomi. Ada yang rela menunda bayar SPP anak karena uangnya digunakan untuk nyumbang terlebih dahulu. Ada yang terpaksa hutang untuk menyumbang karena orang yang mengadakan hajatan pernah menyumbang pada acara yang diadakannya. Jika tidak menyumbang, ia takut dikenai sanksi sosial. Ada juga yang mbolos ataupun cuti kerja untuk menyumbang. Terlebih jika orang yang mengadakan acara hajatan adalah anggota keluarga atau teman karib. Tatanan ekonomi yang disebabkan oleh budaya hajatan dan menyumbang ini mengakibatkan kerentanan ekonomi pada anggota masyarakat. Banyak yang sampai kehilangan tanah, rumah, atau harta benda lainnya karena digunakan untuk mengikuti budaya ini.
Lalu apakah budaya hajatan dan menyumbang ini tidak baik? Budaya itu baik sebagaimana yang diulas sebelumnya. Yang tidak baik adalah perilaku berlebihan dan memaksakan diri untuk mengadakan hajatan atau menyumbang ketika kondisi ekonominya sedang tidak baik.
Lalu apakah anggota masyarakat yang kondisi ekonominya tidak baik tidak boleh ikut budaya itu? Bukan! Jika memang mereka berkehendak untuk mengikuti budaya maka seyogyanya disesuaikan dengan kemampuan ekonominya. Ada baiknya gunakan kaidah ini: budaya tidak boleh ditawar tapi cara maupun nominal yang digunakan untuk mengikuti budaya itu masih bisa ditawar.
Bojonegoro, 28 Juli 2017
Ahmad Budairi