Review Film: Serious Men; Berkisah Tentang Anak yang Menjadi Korban Ambisi Ayahnya

Film ini berkisah dari sudut pandang seorang bernama Ayyan Mani yang geram dengan sistem kasta yang masih berlaku di India. Di dalam lingkungan pekerjaannya, dia sering dihina oleh atasan dan mendapat julukan yang melecehkan.

Ketika istrinya melahirkan seorang anak laki-laki, dia berambisi untuk menjadikan anaknya tersebut pintar agar mendapat penghidupan dan penghargaan dari masyarakat lebih layak dibandingkan dari dirinya.

Ayyan beranggapan bahwa kakeknya ibarat generasi pertama dalam artian belum memahami pentingnya pendidikan. Hidupnya kacau dan penuh dengan tekanan. Ayahnya generasi kedua atau 2G yang penyerapan pendidikan dan pengetahuannya masih sangat lambat. Ayyan Mani sendiri generasi ketiga atau 3G yang artinya sadar pentingnya pendidikan tapi waktunya telah terlambat. Untuk itu, pada generasi keempat atau 4G yaitu anaknya akan dikenalkan pendidikan terbaik sejak kecil.

Adi, anak Ayyan Mani disuruh menghafal teori-teori ilmu pengetahuan yang belum diajarkan pada kelasnya agar terkesan jenius meskipun tidak paham apa maksud yang dihafalnya. Disamping itu, dia juga diminta untuk menghafal pidato yang akan disampaikan ke publik saat ada konferensi pers. Mani berkata pada anaknya semakin aneh yang dibicarakan dan membuat orang lain bingung maka semakin bagus. Mereka akan semakin mengagumi kejeniusan Adi.

Adi sangat ketakutan saat rahasianya terbongkar. Nilainya yang bagus selama ini ternyata berkat ayahnya selalu membeli soal-soal ujian untuk bekal Adi ujian. Sedangkan kelancaran pidato dan bisa menjawab pertanyaan apapun dari audien saat konferensi pers adalah karena didikte oleh ayahnya melalui perangkat earphone yang dikenakannya.

Mani tidak terima rahasianya dengan anaknya terbongkar. Dia meminta Adi untuk belajar lebih serius dan menghafal lebih banyak lagi hingga membuat Adi depresi. Adi sering mengigau dan membentur-benturkan kepalanya ke tembok karena merasa kesulitan menghafal demi menjaga nama baiknya.

Film ini berakhir dengan kejujuran Adi bahwa yang dilakukannya selama ini adalah palsu belaka. Namun masyarakat sudah kadung mempercayainya sehingga apa yang dikatakan Adi dianggap sebagai usaha untuk merendah (rendah hati) saja.

Banyak pesan berharga yang berusaha disampaikan melalui film ini. Diantaranya adalah:

  • Kritik kepada orang tua yang menjadikan anak sebagai alat untuk meraih ambisi dan memuaskan egonya. Kalau di Indonesia, sering terjadi anak dipaksa untuk hafalan dan mendapat nilai bagus untuk semua mata pelajaran.
  • Kritik kepada satuan pendidikan atau sekolah yang menerima peserta didik kaya atau dari golongan orang terpandang saja.
  • Kritik kepada atasan yang tidak memperlakukan staffnya dengan baik. Sering menghina dan tidak pernah mengapresiasi mereka.
  • Kritik pada politisi yang suka memanfaatkan keadaan untuk melancarkan misi politisnya.

Film ini benar-benar mengkritisi habis pada sistem pendidikan yang berpacu pada nilai kognitif belaka. Mendobrak anggapan bahwa anak yang jenius itu adalah anak yang memiliki hafalan sangat kuat dan bisa menghafal banyak hal, bisa menjawab banyak hal, dan mengutarakan teori-teori aneh yang belum pernah didengar masyarakat.

Pada akhirnya film ini menekankan bahwa setiap anak memiliki karakter masing-masing. Biar mereka berproses secara alami. Ilmu pengetahuan bukan melulu perkara menghafal teori, perkalian, rumus dan aspek kognitif lainnya.

Ahmad Budairi
Ahmad Budairihttps://bloggersejoli.com/
Seorang Web developer yang suka menulis artikel di blog. Kader Penggerak Nahdlatul Ulama (NU)

Bacaan Menarik Lainnya

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Baru Terbit