Putusnya Pacar Karena Kesalahan Diksi

Waktu aku masih bujang, dulu, aku memiliki seorang kawan akrab yang cukup lihai mendapatkan pacar. Dia laki-laki anak seorang dukun yang lumayan terkenal. Katanya, kepiawaiannya mencari pacar itu tak lepas dari campur tangan ayahnya yang memasangkan susuk pengasihan padanya.

Usia temanku itu sekira 4 tahun lebih tua dariku. Kami sering berangkat berboncengan naik sepeda pancal untuk nonton acara orkes, reog, ataupun pengajian umum dalam rangka walimatul ursy maupun walimatul khitan yang diadakan tetangga. Sepulang dari acara, aku selalu kebagian membawa sepeda pancal sedangkan si kampret temanku itu menggandeng kenalan baru sampai depan rumahnya.

Suatu hari, ia jengkel pada salah satu pacarnya. Pasalnya pacarnya itu kalau diajak ketemu tidak asyik ketika diajak bicara. Hanya menyahut sepatah atau dua patah kata saja ketika temanku berusaha mengajaknya ngobrol. Temanku akhirnya meminta ketemuan terakhir dengan pacarnya dengan niatan mau mengancam putus kalau pacarnya masih seperti itu. Namun, ia tak jadi mengatakan putus karena situasi tidak memungkinkan.

Malam itu, dia mendatangiku dengan raut muka yang tampak kecewa. Ia bercerita baru saja mengirim surat pada pacarnya. Waktu itu memang penggunaan handphone belum seramai sekarang. Jadi bertukar kabar dengan pacar lumrah dilakukan melalui surat menyurat.

“La memangnya kenapa dengan surat yang dikirim?”, tanyaku datar.

Ia menjawab kalau isi suratnya sebetulnya tidak ingin mengajak putus betulan dengan pacarnya. Ia sekedar memberi ancaman putus pada pacarnya kalau dia tidak mau merubah sikapnya ketika diajak ketemuan. Hal ini dilakukan temanku karena ia merasa tidak bisa mesra-mesraan dengan pacarnya itu kalau pacarnya selalu menunduk jika diajak bicara karena malu. Ia merasa tak ada gunanya pacaran kalau hanya sekedar ngobrol.

“Memangnya apa yang kamu tulis pada surat?”, tanyaku lagi.

Dia menjawab kalau secara umum suratnya sih biasa saja. Hanya saja di akhir surat ia mengancam dengan kalimat begini, “… rasanya lebih baik kita harus mengakhiri hubungan kita karena aku sudah tidak tahan dengan kemaluanmu yang begitu besar”.

“Guoblok… wong edyan”, pekikku. Aku tahu maksudnya sebetulnya ingin menulis mengenai kekecewannya kepada pacar karena memiliki rasa malu yang begitu besar ketika diajak ketemu bukan anunya kemaluannya yang besar. Wanita mana yang tak sakit hati jika dikatakan kalau kemaluannya besar?

Temanku mengatakan kalau gara-gara suratnya itu pacarnya ngajak putus beneran. Jangankan mau diajak ketemuan lagi untuk menjelaskan maksud isi suratnya, membalas suratnya saja sudah tak sudi.

“Sukurin, loe! Kapok koen! Itu karma bagi penjahat kelamin sepertimu”, pungkasku.

Artikulli paraprak
Artikulli tjetër
Ahmad Budairi
Ahmad Budairihttps://bloggersejoli.com/
Seorang Web developer yang suka menulis artikel di blog. Kader Penggerak Nahdlatul Ulama (NU)

Bacaan Menarik Lainnya

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Baru Terbit