Menjadi seorang pelajar dibutuhkan adab atau sopan santun agar ilmu yang didapat bisa berbuah ranum dan indah dipandang. Termasuk menjadi pelajar di dalam ranah bahasa pemrograman. Seorang pelajar yang tidak memiliki adab sering kali melakukan apa-apa yang disukainya tanpa memikirkan dampak dari perilakunya itu terhadap orang lain. Yang penting ia senang dan tujuannya tercapai.
Kurikulum yang berangsur-angsur hilang dan diabaikan dewasa ini adalah takut kepada Allah (yakhsya Allah) dan budi pekerti. Seorang bisa saja menjadi ahli di bidang pemrograman, kedokteran, fisika, otomotif, bahkan agama hanya dengan menonton Youtube atau membaca artikel-artikel di internet. Tetapi budi pekerti dan takut pada Allah tidak bisa didapatkan tanpa adanya guru yang membimbing secara langsung.
Seseorang bisa saja menonton Youtube dan membaca artikel di internet sambil ngupil, nangkring di WC, selonjoran, chating manja dengan gebetan, ataupun hal yang kurang pantas untuk dilakukan lainnya ketika sedang mempelajari ilmu. Berbeda dengan pelajar yang langsung menghadap dengan guru, ia akan memiliki rasa sungkan bahkan takut untuk melakukan hal-hal itu. Rasa takut dan sungkan itu lah sebetulnya yang akan menjadi benih-benih budi pekerti dan takut pada Allah. Kalaupun ada pelajar yang kurang beradab di depan guru itu memang sudah sejak dari dulu. Guruku menamainya dengan istilah santri illat. Sebagaimana dalam kaidah i’lal huruf illat yang menganggu perlu dibuang maka santri illat yang mengganggu juga perlu dibuang.
Fenomena Coder Belagu
Sejak dahulu kala, fenomena orang-orang yang belagu karena baru bisa melakukan sesuatu memang selalu ada. Orang Kaya Baru biasanya belagu dengan merasa semuanya bisa dibeli dengan uangnya. Pengantin baru biasanya belagu dengan merasa pasangannya adalah yang terbaik di dunia. Pelajar Baru Agama biasanya belagu dengan menganggap semua pemahaman yang bertentangan dengan apa yang dipahaminya adalah sesat. Demikian pula dengan pelajar bahasa pemrograman yang biasanya belagu dengan menunjukkan screenshot hasil ngodingnya atau menunjukkan kemampuannya dengan cara-cara norak nir bijaksana.
Ada yang bilang kalau coder baru itu biasanya suka berkalung flashdisk atau membagikan screenshoot hasil kodingan untuk menunjukkan pada orang-orang bahwa ia bisa ngoding. Ia berusaha mencari pengakuan ke sana kemari terhadap apa yang telah dicapainya. Berbeda dengan coder yang sudah menjadi mastah betulan. Jangankan berkalung flashdisk, membawa flashdisk saja belum tentu. Apalagi membagikan screenshot hasil kodingan. Hal itu dilakukan karena hasil kodingannya sangat berharga dan hanya orang-orang tertentu saja yang bisa melihatnya.
Kasta Dalam Bahasa Pemrograman
Aku rasa, menurutku pribadi, bahasa pemrograman dan orang-orang yang memelajari atau menggunakannya tidaklah memiliki kasta. Tidak ada grade untuk masing-masing pengguna bahasa pemrograman. PHP tidak bisa dianggap lebih tinggi kastanya dibandingkan dengan ASP. Java tidak bisa dianggap lebih rendah dibanding C# atau C++. Begitu pula orang-orang yang menggunakannya. Kalaupun ada grade pengguna bahasa pemrograman biasanya digunakan untuk bahasa yang sama. Misal si a memiliki skill dengan grade A pada Java, si b memiliki garde B pada Java.
Membandingkan pengguna bahasa pemrograman satu dengan pengguna lainnya sangatlah tidak tepat. Ibarat membandingkan pemain game PUBG dengan pemain Mobile Legends yang tidak nyambung sama sekali. Atau membandingkan petani yang menggunakan cangkul dengan pengamen yang menggunakan gitar. Pengguna Apache dengan pengguna Nginx. Memang ada beberapa unsur yang bisa dibandingkan tetapi jika perbandingan itu digunakan untuk menilai mana yang lebih baik dari kedua profesi itu sangatlah tidak tepat.
Bahasa pemrograman dan bahasa markah diciptakan dengan beragam tujuan. Demikian pula dalam memelajarinya juga perlu memiliki tujuan yang jelas. Tanpa tujuan itu maka pemrograman hanya akan menjadi fatamorgana. Orang yang seperti itu biasanya belagu. Merasa sudah bisa bahasa pemrograman seutuhnya padahal tingkat dasar saja belum dipelajari sampai selesai.