Sebelum abad ke-8 Hijriyyah datang, para Ulama sudah berlomba-lomba untuk men-syarah (menjelaskan secara rinci) kitab Aljami’ Asshahih karya Al Imam Muhammad ibn Ismail Albukhari. Bahkan gerakan tersebut dimulai sejak zaman Al Imam Alkhatthabi (w. 388) dan Al Imam Addawudi (w. 408). Lantas setelah beliau berdua, bermunculan banyak syarh untuk Aljami’.
Hingga datang abad ke-8 Hijriyyah, dan muncullah dua kitab paling terkenal, yang banyak menjadi rujukan para Ulama di zamannya, bahkan hingga kini. Al Imam Ahmad ibn Ali Al Asqalani Assyafi’i, yang terkenal dengan nama Al Imam Ibnu Hajar (w. 852) muncul dengan masterpiece-nya, Fathul Bari (cetakan sekarang lebih dari 20 jilid). Dan dari kalangan Madzhab Hanafi, Al Imam Mahmud ibn Ahmad Al ‘Aini, yang terkenal dengan nama Al Imam Albadr Al ‘Aini (w. 855) menuliskan ‘Umdatul Qari (cetakan sekarang lebih dari 10 jilid).
Tapi, seperti kepopuleran Ibn Hajar, kitab beliau, Fathul Bari, pun lebih dikenal dan dipelajari oleh ulama daripada kitab Albadr Al ‘Aini, Umdatul Qari.
Dan, sebuah info yang mungkin tak banyak orang tahu: siapakah yang paling banyak ‘mendapatkan manfaat’ dari Fathul Bari yang ditulis di antara tahun 817-842 H itu? Jawabannya: Albadr Al ‘Aini! Ya, dengan kata lain, menurut ulama, beliau banyak menjiplak karya Ibnu Hajar itu. Beliau sendiri mulai menuliskan ‘Umdatul Qari di tahun 820 H, dan usai di tahun 847 H. Dan lagi, Al Badr Al ‘Aini tidak pernah mencantumkan sekalipun nama Ibnu Hajar di kitab beliau.
Apakah itu sekadar tuduhan? Bukan. Banyak Ulama legendaris yang pula mengakui hal tersebut: Assakhawi, Alqusthullani, Assuyuthi dan Haji Khalifah. Semua mengakui plagiarisme yang dilakukan Albadr Al ‘Aini terhadap Fathul Bari.
Hanya saja, yang perlu pula diketahui, sebelum terlahirnya Fathul Bari dan ‘Umdatul Qari, memang ada crash pemikiran antara kedua Imam besar ini, Ibnu Hajar dan Albadr Al ‘Aini. Semenjak dahulu, keduanya saling beradu pemikiran dan dalil, dan jika boleh dikata: hubungan mereka kurang harmonis. Keduanya seringkali berbalas syair, tuduhan bahkan menulis kitab untuk saling melemahkan rivalnya.
Tapi meski begitu, keduanya pun saling berbagi ilmu. Ibnu Hajar menuliskan Albadr Al ‘Aini sebagai salah satu sumber ilmunya di kitabnya, Raf’ul Ishr, dan Albadr Al ‘Aini pun bergantung pada Ibnu Hajar, ketika beliau menuliskan silsilah keilmuan Al Imam Atthahawi. Bahkan Albadr mendatangi Ibnu Hajar disaat beliau akan wafat, untuk menjenguk dan menanyakan beberapa masalah hadits dan sanad, dan Ibnu Hajar pun menjawab dengan sebaik mungkin, bahkan menunjukkan dimana Albadr menemukan itu dalam karangan-karangannya.
Di ‘Umdatul Qari, Al Badr Al ‘Aini banyak sekali meniru kalimat Ibnu Hajar, dan terkadang hanya menghapus satu dua kalimat, dan merubah beberapa redaksi saja, tanpa mencantumkan nama Ibnu Hajar sekalipun, atau hanya berkata “pendapat sebagian orang”. Dan terkadang beliau mengkritisi pemikiran Ibnu Hajar dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak pada tempatnya. Seringkali juga, karena memang Albadr Al ‘Aini bermandzhab Hanafi, beliau mengkritik habis pendapat Ibnu Hajar yang bermadzhab Syafi’i. Tak jarang pula, Al Badr Al ‘Aini mengklaim pendapat Ibnu Hajar sebagai pendapat beliau sendiri. Atau juga memindahkan keterangan yang ditulis Ibnu Hajar di selain bab di Fathul Bari.
Dan tentu saja, Ibnu Hajar pun tak diam saja melihat itu. Plagiarisme yang dilakukan Al Badr Al ‘Aini terhadap Fathul Bari membuat beliau segera menuliskan kitab Intiqadhul I’tiradh dan Al Istinshar untuk mengkritik Al Badr Al ‘Aini.
Dalam kedua kitabnya itu, Ibnu Hajar menjelaskan kesalahan Al Badr Al ‘Aini, juga menjawab segala pertanyaan dan sangkalannya. Tapi di sisi lain, beliau pun terkadang mengakui bahwa kritik yang dilakukan Albar Al ‘Aini memang lebih benar, dan beliau merubah pendapatnya. Dan akhirnya, Para Ulama pun mengamini apa yang telah dituliskan oleh Ibnu Hajar di kitab Intiqadhul I’tiradh dan Al Istinshar.
Alhasil, meski semua itu terbukti, tapi Al Imam Ibnu Hajar tak pernah menuntut Al Imam Albadr Al ‘Aini untuk menarik kitabnya itu. Benar, beliau mengkritisi, tapi beliau juga tetap mengakui keilmuan Al Badr Al ‘Aini. Sesekali ketika marah, Ibnu Hajar melepaskan kata-kata yang lumayan kasar di kedua kitab itu, tapi tak jarang pula beliau hanya menuliskan kata-kata halus untuk memperingatkan kesalahan Albadr Al ‘Aini.
Tapi akhirnya, meski semua itu terjadi dan terbukti, ‘Umdatul Qari tetaplah tersebar, dipelajari, dan mendapatkan perhatian besar dari para ulama juga pujian mereka. Mereka yang datang setelah generasi Ibnu Hajar dan Albadr Al ‘Aini, tetap menghormat dan tunduk pada keluasan lautan ilmu keduanya. Mungkin ada kesalahan yang mereka berdua lakukan, tapi bukankah manusia biasa yang bukan seorang Nabi, normal jika melakukan kesalahan? Yang penting, adalah ketika mereka mau mengakui kesalahan itu. Bukan keras kepala menetapi kesalahan dan hawa nafsunya.
Tentu saja untuk mereka yang mengikuti kabar sosmed, akan paham mengapa aku menulis ini. Ya, gara-gara ramai tulisan Afi Nihaya Faradisa yang diklaim memplagiat tulisan Mita Handayani..
Oke, sebuah kritik membangun, itu tak masalah. Tapi, jika kritik tersebut dilayangkan hanya karena membenci sosok Afi Nihaya Faradisa, tentu saja ini sebuah kesalahan fatal. Afi tetap manusia biasa yang bisa saja salah, dan mengkritik kesalahan berbeda dengan melancarkan kebencian.
Di satu titik, aku kagum dengan sikap Mita Handayani yang malah memaklumi dan merasa senang saat Afi ‘menyebarkan’ tulisannya.
Aku kaget saja, melihat dia tak ‘seterbakar’ haters Afi—bahkan tak sedikitpun emosi! Dari sikapnya yang dewasa itu, aku segera menyadari bahwa haters Afi bukan sedang membenarkan atau mengkritik kesalahan Afi. Tapi hanya sedang menunjukkan kekerdilan cara berpikir, ketika hanya meluapkan kebencian di satu kesalahan. Sesama muslim, tapi mengapa melancarkan kebencian seperti itu? Mana rasa persaudaraan yang berkali-kali ditekankan Islam, padahal mereka, para haters itu, merasa sangat Islami. Yuh.
Ayolah. Satu kesalahan tak merusak keistimewaan yang dimiliki seseorang. Jadilah seorang pribadi yang membangun orang lain. Satu kesalahan Afi, yang pula boleh dikata sudah ia akui, seharusnya tak mengurangi kualitas pemikiran Afi yang memang bagus itu. Tak menutupi kebaikan dari apa yang telah ia usahakan di setiap huruf yang ditorehkannya selama ini.
Ah. Ini belum tentang mengarang arti nama, atau mengait-ngaitkan kematian salah satu artis dengan tulisan Afi. Itu cara berpikir yang, untukku, unyu-unyu. Hehe.
Apakah kebencian harus selalu ditujukan kepada Afi (dan juga mereka yang tak selaras dengan cara berpikirmu) dengan men-down-kan, mengolok, mengatai, dan segala hal buruk yang tak diajarkan Islam itu, bahkan setelah Afi menyatakan penyesalannya, dan Mita menyatakan kerelaan bahkan kebahagiaannya? Apakah itu sikap Islam, atau hanya sekadar hati yang busuk?
Siapa yang tak tahu, bahwa Khalid ibn al Walid-lah yang membalikkan keadaan di Perang Uhud, hingga muslimin terpukul mundur, dan bahkan Hamzah terbunu setelahnya. Panglima berbakat dari kaum kafir Quraisy ini begitu terkenal dengan kepemimpinannya.
Tapi meski begitu, Rasulullah tetap menanyakan kepada saudaranya yang terlebih dulu masuk Islam, Al Walid ibn al Walid, “mana saudaramu? Orang secerdas ia, tak mungkin buta melihat Islam!” Beliau terus mengharap ia masuk Islam. Hingga di masa Perjanjian Damai Hudaibiyah, Khalid pun akhirnya memeluk Islam.
Ya, dulu ia salah. Dulu ia mengobrak-abrik muslimin, bahkan men-down-kan semangat mereka. Tapi kesalahan tak menutupi potensi dan keistimewaan yang ia miliki dari mata hati Sang Nabi. Beliau tak melihat satu dua kesalahan besar itu, tapi berharap potensi dan keistimewaan itu menjadi kekuatan yang baik untuk Islam. Beliau memaafkan, dan lalu beliau mendidik dan menunjukkan.
Kalau kita tidak mengikuti beliau, lantas kita ingin mengikuti siapa?!
Wallahu a’lam.
@bangmiqo
@Makkah, Ramadhan 10, 1438 H
Bangun tidur dhuhur dan kepala dipenuhi tulisan di atas.