Menjadi pelakor awalnya bukanlah menjadi keinginan hati nurani. Semua ini terjadi sebetulnya hanya karena iseng belaka. Siapa sih yang ingin dipandang orang sebelah mata? Siapa sih yang suka dipergunjingkan tetangga?
Salahlah aku kalau keisenganku ditanggapi serius oleh mereka? Ada yang mengajak ketemuan di kafe, di hotel, atau mengundangku ke rumah mereka disaat situasi dirasa aman. Apakah salah kalau aku memenuhi ajakan dan undangan mereka? Padahal! Aku juga butuh kesenangan.
Menjadi pelakor bukanlah mudah, guys. Sering kali aku bertengkar dengan istri gara-gara hal ini. Istriku sering ngamuk kalau aku pulang larut malam sehabis ketemuan dengan (…sensor…). Padahal! Ia tidak tahu siapa yang kutemui. Selain itu, ada juga yang menganggapku memelihara tuyul karena bisa beli ini dan itu padahal kerjaannya hanya makan dan tidur saja.
Aku cukup terbuka dengan istriku. Dia tahu semua user dan password sosial media atau email yang kugunakan menjalankan aksi menjadi pelakor. Aku memberinya kebebasan untuk memblokir siapa saja yang dirasa membuatnya cemburu. Namun, memang, mengenai aksi menjadi pelakor ini, dia tidak selalu paham dengan apa yang kami bicarakan melalui chat atau lainnya. Jadi ya gitu deh…
Semua ini tentu anugerah dari Tuhan yang memang meliputi makhluknya dengan sifat Ar-Rahman pada siapa saja yang ada di dunia ini tanpa pandang bulu. Sehingga aku bisa menjadi pelakor selama bertahun-tahun.
Aku menulis ini hanya ingin mengabarkan kepada kalian bahwa menjadi pelakor ternyata ada sisi enaknya juga. Pendapatan dari hal ini lumayan cukup untuk menghidupi keluarga. Waktu untuk bersama keluarga juga sangat banyak meskipun tetap ada waktu untuk bertengkar juga sih.
Btw, kalian tahu pelakor macam apa yang kubicarakan di sini? Yaitu Pelajar Kode Rumahan (pelakor) yang bekerja mengeja kode pemrograman secara remote untuk menyelesaikan pesanan.
ternyata berbakat juga jadi pelakor