Tiket yang telah dipesan menunjukkan pukul 03.50 waktu keberangkatan kereta api dari stasiun Tawang Semarang. Meskipun ke Jakarta hanya beberapa hari saja, rasanya begitu berat sekedar membayangkan jauh dari Widut dan si K. Dulu, sebelum si K lahir, aku memang pernah menjadi pejuang LDR. Iya! Walaupun hanya beberapa bulan saja, gojlokan demi gojlokan datang bertubi, silih berganti. “Menikah rasa jomblo”, kata orang.
Aku harus membuat keputusan dalam waktu singkat antara berangkat sendirian atau mengajak serta Widut dan si K untuk mengantarkannya ke Salatiga. Kalau mengajak serta mereka rasanya kasihan karena sudah menjelang petang. Kalau aku meninggalkan mereka di Bojonegoro sebenarnya juga kasihan. Serba repot. Keduanya pilihan yang sulit bagiku. Setengah bercanda, Widut berkata, “ayo putuskan dalam 5 menit”.
Aku mencoba menghubungi beberapa saudara untuk membantu mengurai keruwetan berpikir. Menanyakan jadwal keberangkatan kereta dari stasiun Cepu ke stasiun Tawang Semarang. Ada beberapa pilihan jadwal keberangkatan. Saat itu, aku hampir mengambil keputusan mengajak serta mereka namun tak jadi kuambil karena membayangkan mereka naik kendaraan umum malam-malam rasanya tidak tega.
Singkat cerita, aku memutuskan untuk berangkat sendirian mengambil jadwal kereta paling akhir pukul 23.15.
Seperti biasanya, si K sangat aktif dan sulit diminta untuk segera tidur. Padahal! Kalau ia tidak tidur pasti merengek pengen ikut ketika melihatku hendak pergi. Pukul 21.00, aku meminta Widut untuk mengajak si K ke kamar. Setelah pamit secara terselubung dengan si K, aku malah kelupaan cipika-cipiki dengan Widut di depan si K. Eh… si K malah cekikikan melihat hal itu. “Sorry, le. Bukan niatku…”, batinku. Untuk mengurangi berkecamuknya perasaan, aku pun kemudian berangkat sambil mendendangkan sholawat yang yang pernah kudengar dari jamaah Al-Khidmah kampus IAIN Salatiga ketika awal-awal di Salatiga dulu.
Aku berpikir tahapan ujianku masih setingkat istri (نساء) dan anak (بنين). Aku jadi teringat tulisanku dulu tentang jarak surga yang tak lebih jauh dari sejengkal kaki. Mampukah aku menjaga jarak itu agar tidak menjauh. Dengan kata lain mampukah aku menjaga mereka agar tetap dekat denganku di dunia ini maupun di kehidupan setelah ini. Ketika pikiran ini semakin tak tentu arah, aku kemudian memotongnya dengan ucapan dalam hati:
وانا اريد والله يفعل ما يريد
*Catatan ini ditulis ketika menunggu kereta di stasiun Tawang Semarang. Sesuai jadwal, kereta itu datang 30 menit lagi dan catatan ini dicukupkan sampai di sini.