Agama Islam, agama yang kuayakini kebenaran risalahnya dan kuanut ajarannya sering digambarkan sebagai agama penuh rahmat – rahmatan lil aalamiin. Begitu yang sering kudengar dari guru-guru. Lil aalamiin dimaknai sebagai alam semesta yang terdiri dari berbagai macam makhluk ciptaan sang Khaliq meliputi makhluk yang bernyawa kasat mata maupun tak kasat mata dan makhluk tanpa nyawa dengan berbagai macam unsur pembentuknya.
Aku sedih ketika seorang kyai yang kuanut diolok-olok karena beliau pernah menyampaikan bahwa tujuan ibadah bukanlah untuk mendapat surga melainkan untuk mendapat ridho Allah S.W.T. Beliau diolok-olok karena dianggap menafikan ayat Qur’an yang menjanjikan surga bagi mereka yang taat beribadah. Padahal! Jika mereka (yang mengolok-olok) mengikuti apa yang disampaikan kyai sampai paripurna niscaya ia akan mendapatkan penjelasan mengenai kalimat yang dijadikan bahan olok-olok itu.
Kyai menganalogikan dengan permisalan sederhana begini: Jika misalnya seseorang punya pacar kemudian dia diajak ke rumah pacarnya tersebut kemudian di sana ia takjub melihat rumah dan menikmatinya sampai lupa pada pacarnya maka dia akan kehilangan pacar (mungkin juga rumah pacarnya itu). Tapi jika ia bisa mendapatkan pacarnya itu maka kemungkinan besar akan mendapatkan rumahnya sekalian. Namun, ada yang menyangkal kalau analogi tersebut tak berdasar. Aku pun tak akan membantahnya dengan sok membela kyai yang diolok-olok. Lha apa pangkatku kok sok bela kyai? Wong aku ngikut samikna waatho’na pada kyai berharap dapat pembelaan dari beliau saat suasana genting nanti.
Di saat banyak orang yang tampak berani mati-matian mempertahankan keyakinannya dengan membuat aksi-aksi bela Islam, bela ulama, bela Qur’an, ataupun aksi pemurnian tauhid, ada sebagian orang yang secara terang-terangan mengakui bahwa keberagamaannya hanya untuk dapat melampiaskan hasrat seksual. Entah itu yang bisa dikecap nikmatnya di dunia atau pesta seks yang diidamkan di akhirat kelak. Daripada zina, katanya.
Suatu hari, seorang teman memintaku untuk menikahkan dia dengan seseorang. Aku kaget, “Seorang Budairi diminta untuk menjadi penghulu?”, batinku. Jujur saja waktu itu aku langsung berprasangka tidak baik dengan dia dan langsung kutanyakan perihal prasangkaku itu. Ternyata benar sudah terjadi hal-hal yang diinginkan. Dia mengakui hal itu dan mengatakan kalau dia bersedia membayarku berapapun asal mau menikahkan dia dengan pelampias hasrat seksualnya. Aku terus saja menginterogasi dia kenapa harus aku? Kenapa tidak melalui KUA secara langsung? Tanyaku. Daan.. jawabannya lebih mengejutkan lagi. Ternyata yang jadi pelampias hasrat seksualnya itu adalah istri orang lain (masih bersuami secara sah). Oh… my goat… kenapa aku dihadapkan dengan hal semacam ini? Bagaimanapun aku tetap menolak apa pun yang menjadi tawaran dan bagaimana pun model bujuk rayunya itu.
Di lain kesempatan, di tempat terpisah dengan orang yang berbeda, ada juga ternyata yang menggebu-gebu memeras otak untuk menjejalkan ilmu agama kedalam memorinya untuk mendapatkan simpati anak bu nyai beserta abahnya. Yang ini sih lumayan. Mirip jurus menipu setan yang diciptakan gus Mus.
Ketika sowan kyai, beliau cerita bahwa baru saja ada tamu sejoli yang minta dinikahkan secara sirri karena tidak mendapat restu dari salah satu orang tua. Ah… teganya mereka mengiming-imingi kyai dengan biaya berapapun akan dibayar asal ia bisa dinikahkan tanpa harus mendapat restu orang tua. Maksud hati ingin mendapat rukhsah hukum menikah dengan cara menyogok ahli fikih. Tapi sayangnya ahli fikih menolak karena takut ganti disogok dengan api neraka.
Ah… aku malah jadi baper. Kenapa aku sering dihadapkan dengan masalah seperti itu? Hikmah apa yang sebenarnya hendak diperlihatkan padaku, aku belum dapat menguraikannya.
Anyway! Sebagaimana penggila kelamin merasakan kenikmatan dan kebahagiaan di dunia semoga diakhirat kelak mereka mendapatkan hal yang sama.