Polisi tidur dan penutupan jalan ketika ada acara adalah dua hal yang sering membuatku merenung. Aku memang pernah mengalami kejadian yang kurang menyenangkan terkait polisi tidur. Salah satunya adalah ketika istriku, Widut mengalami [kamus kata=’kontraksi’] menjelang kelahirannya si K. Waktu itu, melihat Widut merintih kesakitan, aku langsung memboncengnya untuk pergi ke puskesmas terdekat. Karena buru-buru dan aku terhitung warga baru yang belum mengenal daerah tempat tinggalku, aku sering lupa kalau ada polisi tidur di jalan yang aku lewati. Aku pun menerjang polisi tidur begitu saja tanpa memperlambat laju kendaraan dan pasti saja menambah rasa sakit yang dirasakan Widut.

Polisi tidur yang dibangun pada jalan yang menanjak juga pernah hampir membuatku celaka. Saat itu, aku sedang menggunakan motor butut yang jalannya sudah seperti keong. Sangat lambat dan tarikannya sangat lemah sehingga ketika menaiki tanjakan harus masuk gigi satu dan gas full. Berhubung di jalan itu ada polisi tidur, aku melambatkan kendaraan. Apesnya saat kendaraan melambat itu malah mesinnya mati dan otomatis kendaraannya malah mundur ke belakang. Untungnya masih bisa mengontrolnya dan tidak terperosok ke jurang di pinggir jalan itu. Kalau ingat kejadian itu sangat ngeri lah.
Pengguna Jalan Tidak Selalu Salah
Ketika terjadi laka di suatu daerah, tentu tidak bisa selalu disebabkan karena human error atau kesalahan pengendara yang mengalami laka tersebut. Bisa jadi faktor mesin, kondisi jalan, atau faktor lainnya.

Aku sering kali mendapati anak-anak kecil tiba-tiba nongol di depan sambil berlarian ketika berkendara. Kalau sampai mereka tertabrak apa aku yang disalahkan karena tidak bisa mengerem dengan mendadak pula? Aku juga pernah melihat dengan mata kepala sendiri ada seorang pengendara sepeda motor yang jatuh karena menabrak anak sapi yang menyebrang jalan tanpa melihat kanan dan kiri terlebih dahulu. Ada juga pengendara yang celaka karena menghindari ayam kejar-kejaran di jalan. Ada juga yang celaka karena mnghindari anak kecil nyebrang jalan sembarangan.
Pengguna jalan memiliki kepentingan yang beragam. Ada kalanya mereka butuh sampai dengan cepat di lokasi tujuan karena memang sifatnya sangat penting. Misal sedang mengantarkan anggota keluarga yang sedang sakit parah.

Sebagai masyarakat yang tinggal di sekitar jalan umum tentu kita menginginkan kenyamanan dan keamanan. Namun di sisi lain, sebagai pengguna jalan, kita juga menginginkan kenyamanan dan keamanan pula.
Saling Menyadari
Sebagai masyarakat yang tinggal tepat di pinggir jalan umum, kita perlu menyadari akan pentingnya menjaga ketertiban umum dengan tidak menggunakan sebagian bahu jalan untuk kepentingan pribadi. Menertibkan hewan ternak atau piaraan agar tidak bermain di jalan. Mengawasi dengan baik anak-anak agar tidak membahayakan diri dan orang lain dengan bermain di jalan. Dan tentu saja masih banyak hal lainnya yang dapat kita lakukan.
Sebagai pengguna jalan, kita juga perlu menyadari akan pentingnya ketertiban dalam menggunakan jalan umum dengan mematuhi rambu-rambu lalu lintas, tidak mengendarai sambil menggunakan gadget, tidak ngebut di jalanan yang sempit dan padat penduduk, dan lain sebagainya.
Kalau kita hanya saling curiga. Masyarakat curiga dengan pengguna jalan begitu pula sebaliknya maka hal itu tidak akan menyelesaikan masalah. Paling tidak, kita bisa memulai ketertiban itu dari diri sendiri atau keluarga kecil masing-masing.
Yakin Salah Tapi Tidak Menyalahkan
Aku sering kali membayangkan tentang sebanyak apa dosa pembuat polisi tidur ketika melewatinya. Aku meyakini bahwasannya pembuatan polisi tidur yang banyak dilakukan itu masih banyak yang salah kaprah dan tidak mengikuti aturan yang berlaku. Meskipun begitu, aku tidak akan pernah menyalahkan atau meminta polisi tidur yang sudah ada itu dibongkar kecuali terbukti secara nyata membahayakan banyak orang.
Alasan yang sering digunakan untuk membenarkan pembuatan polisi tidur adalah mengurangi potensi laka yang terjadi di daerah tersebut karena banyak yang ngebut. Dengan adanya polisi tidur, diharapkan para pengguna jalan jadi tidak ngebut dan potensi laka bisa dikurangi. Logika seperti ini menurutku pribadi seperti logika yang sering digunakan untuk menghakimi wanita yang menjadi korban perkosaan. Logika tersebut adalah: wanita membuka aurat = wajar diperkosa mirip dengan logika jalan mulus = ngebut.
[box type=”info” align=”alignleft” class=”” width=””]Komik di atas pernah dipublikasikan di situs mojok.co pada 14 mei 2018 dengan judul Pertolongan Pertama Pada Ereksi (P3E).[/box]
Aturan Pembuatan Polisi Tidur
Aturan mengenai pembuatan polisi tidur bisa ditemukan pada peraturan mnteri perhubungan no.3 tahun 2004 pasal 4 dan 5.
- Pasal 4: Alat pembatas kecepatan kendaraan hanya bisa dipasang di jalan pemukiman, jalan lokal kelas IIIC, dan jalan-jalan yang sedang dilakukan konstruksi. Selain itu perlu didahului dengan rambu peringatan.
- Pasal 5: Pembatas kecepatan kendaraan harus dibuat dengan ketinggian maksimal 12 cm, lebar minimal 15 cm, dan sisi miring dengan kelandaian maksimal 15%.
Lebih lanut mengenai aturan tersebut bisa dilihat pada infografis yang diadaptasi dari Rappler.com di bawah ini:

Hukum Membuat Polisi Tidur
Berdasarkan kajian para literasi, hukum membuat polisi tidur ada perbedaan pendapat. Ada yang membolehkan dan ada pula yang tidak membolehkan. Mayoritas (jumhur) ulama tidak membolehkan.
Menurut sebagian ulama yang membolehkan, polisi tidur boleh dibuat dengan catatan sebagai berikut:
- Dibangun di gang atau jalan kampung,
- Para pengguna jalan tidak merasa terganggu,
- Mendapat ijin resmi dari Pemerintah yang berwenang,
- Memperoleh kesepakatan dari warga sekitar,
- Dibuat sesuai dengan aturan pemerintah
Referensi: Bughyah Almustarsyidiin I/293, Almanhaj Li An-Nawaawy I/187, I’à nah Ath Thòlibìn Iii/84, Al Muhadzdzab Ii/193, Al Bà jùrÿ, Is’à d Ar Rofìq Ii/133, dan Al Iqnà ’ Ii/320