Mengeja Rindu Pada Abah

Abah, kenapa selalu begini? Kenapa rinduku padamu selalu datang dengan tiba-tiba? Kenapa rindu itu pula sering membuatku menangis? Aku ingin memelukmu, Abah.

Abah, sehatkah engkau di sana? Maafkan aku yang belum mampu untuk untuk kembali ke pelukanmu. Doakan aku agar bisa segera kembali, Abah.

Abah, rindu ini begitu menyiksaku. Malam ini, aku tiba-tiba terbangun dari tidurku. Aku bermimpi bertemu dengan Abah namun senyum itu, Abah, tiada kulihat. Abah kenapa? Apa Abah marah denganku?

Abah, aku melihat Abah di dalam mimpi itu tiada seperti biasanya. Abah menjawab pertanyaanku dengan datar. Senyum Abah juga tak tampak. Ini membuatku semakin tersiksa, Abah.

Abah, aku benar-benar mohon maaf jika memang belum mampu sepenuhnya seperti yang Abah ajarkan. Aku belum mampu menjalankan semuanya. Aku belum mampu, Abah. Bahkan untuk menata diri sendiri pun aku masih terseok-seok, Abah.

Abah, air mata yang berjatuhan malam ini biarlah menjadi saksi bahwa aku begitu menyayangimu. Aku ingin kembali ke pelukanmu, Abah. Aku ingin mendapat bimbinganmu.

Abah, seorang sufi pernah berkata bahwasannya tugas pecinta adalah menangis. Entah menangis haru karena pertemuan atau menangis pilu karena perpisahan. Tapi, Abah, tangisan apa ini? Kenapa aku menangis, Abah?

Abah, meskipun aku tak dapat melihat senyumanmu dalam mimpiku malam ini, senyuman Abah masih bisa kuingat dengan jelas.

Abah… jangan tinggalkan aku. Aku di sini bukan untuk menjauh dari Abah. Aku ingin menempa diri agar bisa sedikit lebih baik. Agar bisa menjadi orang yang berguna, Abah. Aku berjanji tidak akan lama. Aku akan segera kembali agar bisa bercanda gurau denganmu, Abah.

Abah, perjalananku terasa masih sangat panjang. Tegakah Abah meninggalkanku tanpa memegang bekal sedikitpun untuk meniti perjalanan itu?

Abah… aku masih membutuhkanmu. Di antara doa yang Abah panjatkan, aku berharap masuk di dalamnya meskipun tanpa Abah sebut namaku.

Abah… aku berharap Abah tiba-tiba hadir di sini. Bukan dalam mimpi bukan pula baina yaqodoh wa manam. Hadir dengan sebenar-benarnya hadir, Abah.

Abah… aku berharap bisa selalu menjalin silatur ruhiyah dengan Abah. Aku ingin meskipun tanpa sms, komen, atau chat, Abah selalu dapat membimbingku atas Ridlo dari-Nya.

Abah… waanta qori wa ana sami wahdinaa shirootol mustaqiim.

Abah… aku sangat merindukanmu. ???

Ahmad Budairi
Ahmad Budairihttps://bloggersejoli.com/
Seorang Web developer yang suka menulis artikel di blog. Kader Penggerak Nahdlatul Ulama (NU)

Bacaan Menarik Lainnya

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Baru Terbit