Aku sangat menjunjung tinggi bahasa daerah. Bahasa ini kujadikan bahasa induk untuk berkomunikasi di lingkungan keluarga. Setiap hari aku menggunakan paling tidak 5 bahasa dalam berkomunikasi yaitu bahasa Inggris untuk komunikasi dengan customer atau kawan dari luar negeri dan konsultasi bahasa pemrograman atau membaca referensi, bahasa jawa ngoko untuk berbicara dengan istri dan sanak saudara maupun tetangga yang usianya sama atau lebih muda dariku, bahasa jawa halus (kromo) untuk berbicara dengan orang yang lebih tua, bahasa Indonesia untuk mengurus pekerjaan serta membuat dokumentasinya dan menulis artikel, serta bahasa Arab untuk berkomunikasi dengan Allah atau untuk membaca kitab dan/atau untuk ngobrol dengan kawan. Namun, aku tetap menjadikan bahasa Jawa sebagai bahasa Induk karena disitulah identitasku sebagai orang Jawa.
Kendala Pengajaran Bahasa Daerah
Mengajar bahasa daerah pada anak tentu tidak mudah. Terlebih jika kita tinggal di daerah yang menggunakan bahasa yang beragam untuk berkomunikasi sehari-hari seperti di perkotaan atau daerah urban yang banyak dihuni oleh pendatang dari berbagai daerah.
Aku dan Widut kebetulan berasal dari daerah yang berbeda. Meskipun sama-sama masih Jawa, ada beberapa kosakata yang berbeda makna yang membuat kami terkadang bingung untuk menentukan kata mana yang sebaiknya digunakan. Misalnya di Bojonegoro aku bisa menggunakan sampun mantun untuk sudah selesai tetapi ketika kugunakan di Salatiga cenderung diartikan sebagai sudah sembuh. Beberapa kosa kata ada di Bojonegoro tetapi tidak ada di Salatiga pun sebaliknya. Contoh: ceblok atau ciblok di Bojonegoro artinya jatuh. Di salatiga kata itu tidak ada dan untuk menamai jatuh digunakan kata gigol. Kata klekar digunakan orang Salatiga untuk menamai bobok (leyeh-leyeh) sedangkan di Bojonegoro kata itu tidak ada dan digantikan dengan kata bok. Di Salatiga semua jenis minuman dikatakan sebagai wedang sedangkan di Bojonegoro wedang hanya untuk minuman racikan yang dibuat sendiri seperti wedang teh, jahe, atau kopi. Air putih untuk minum tidak dianggap sebagai wedang.
Lingkungan tempat tinggal kami semuanya menuturkan bahasa Jawa untuk percakapan sehari-hari namun sebagian di antara mereka menggunakan bahasa Indonesia untuk berkomunikasi dengan anak kecil. Ini meruoakan salah satu tantangan yang perlu dihadapi.
Widut, istriku masih sering menggunakan bahasa Indonesia untuk mengenalkan kosakata baru pada si K. Ini dikarenakan ia memiliki keterbatasan kosakata bahasa jawa. Ia tidak akan tahu apa itu bangkekan, kenthol, jithok, dan beberapa anggota tubuh lainnya. Aku maklum meskipun terkadang merasa kurang berkenan.
Media Belajar Bahasa Daerah
Pembelajaran bahasa daerah sebetulnya tak membutuhkan media seperti yang dilakukan di sekolah yang terbatas oleh waktu. Dengan pembiasaan orang tua menggunakan bahasa daerah dalam komunikasi sehari-hari tentu akan ditiru oleh anak dengan sendirinya. Yang menjadi masalah adalah ketika bahasa daerah itu memiliki ragam penuturan berbeda seperti bahasa jawa yang dibagi menjadi ngoko, kromo alus, dan kromo inggil. Mana yang perlu diajarkan lebih dulu pada anak merupakan pilihan yang sulit.
Menggunakan media flashcard untuk mengenalkan kosakata baru untuk anak sebetulnya juga bagus. Ini terbukti ketika Widut membuat flashcard bergambar dengan kosakata bahasa Inggris namun diajarkan menggunakan bahasa Indonesia lebih cepat diingat oleh si K. Hal ini perlu diterapkan untuk mengenalkan kosakata bahasa daerah pada anak.
Masyarakat juga bisa menjadi media belajar bahasa daerah untuk anak. Anak yang berkumpul dengan masyarakat yang menuturkan bahasa daerah mau tak mau akan belajar bahasa daerah sedikit demi sedikit.
Mengapa Bahasa Daerah Itu Penting?
Bahasa daerah merupakan salah satu identitas kita sebagai bangsa Indonesia. Primodialisme perlu dikukuhkan untuk meneguhkan identitas diri. Bukan untuk saling klaim daerahnya yang terbaik.
Ketika seseorang kehilangan identitas daerahnya, bisa jadi ia akan menjadi orang yang kurang peduli pada daerah asalnya. Nasionalismenya terhadap daerah asal bisa saja tergerus oleh waktu.
Perbedaan itu sangatlah indah jika semua unsur yang berbeda mau menerima perbedaan satu sama lain. Dari itulah semboyan bangsa Indonesia menggunakan Bhineka Tunggal Ika karena melihat keindahan keragaman bangsa Indonesia yang dapat disatukan dalam bingkai Indonesia.
Penguatan identitas daerah melalui bahasa daerah adalah wujud nasionalisme kita terhadap negara Indonesia. Kehilangan identitas daerah bisa mengakibatkan seseorang kehilangan nasionalismenya terhadap Indonesia. Untuk itulah aku sering jengkel ketika ada kawan yang memanggil dengan ana, akhi, ukhti dll. Kalau memang ingin menggunakan bahasa Arab untuk berkomunikasi denganku tentu akan kulayani dengan senang hati. Tapi kalau hanya dzomir atau kata gantinya saja yang digunakan agar dianggap alim atau islami mending enggak usah. Aku lebih suka dianggap sebagai orang kejawen, kok.
Betul sekali. Sejujurnya waktu kecil dulu komunikasiku dengan keluarga menggunakan bahasa daerah. Hanya karena lingkungan yang selalu menggunakan bahasa nasional, jadinya lidahku kaku untuk mengucapkan kembali bahasa daerah.
Namun, jika org lain bercakap bahasa daerah, aku pahami artinya. Tapi aku susah mengejanya, xixixii :D.
Kini, orang tuaku menerapkan sistem bahasa daerah pada cucu mereka. Lemahnya, anakku menjadi speech delay karena bingung bahasa ????
Aku mengamati beberapa kasus speech delay sering kali terjadi karena minimnya pengajaran orang tua mengenai suatu hal terutama yang berkaitan dengan bahasa. Lebih sering ditinggal sendiri dengan dibekali gadget atau disuruh nonton tv spanjang hari. Jarang diajari menyanyi dll.
Kalau speech delay yg disebabkan terlalu aktifnya otak kemudian si anak kesulitan memilih kata mana yang lebih dulu diucapkan baru denger beberapa waktu yg lalu. Belum bertemu secara langsung.
Anak dari temannya istri katanya juga spech delay tp aku juga belum pernah bertemu dengannya.
Eh maaf, yang jadi sorotan kok malah speech delaynya. hehe