Kegiatan belajar bersama di sini ini sebetulnya sudah berlangsung lama. Sejak aku belum menikah dengan Widut sudah ada kegiatan belajar bersama. Secara khusus sebetulnya kegiatan belajar ini dalam rangka untuk mengenalkan huruf-huruf hijaiyyah namun secara praktikum isi pembelajaran tersebut lebih luas dari itu. Banyak materi-materi umum teoritis maupun praktikum yang diadakan di sini.
Pernikahanku dengan Widut ternyata memberi warna baru dalam hidupku. Aku diminta untuk membantu Widut menemani adik-adik yang belajar di sini. Setelah berjalan beberapa tahun, seorang takmir musholla mengusulkan agar kegiatan adik-adik itu dipindah di musholla dengan alasan agar adik-adik mulai mengenal musholla dan terbiasa pergi ke musholla sejak dini. Aku pun mengiyakan usulan tersebut. Namun seiring berjalannya waktu, ada beberapa adik-adik yang tidak berangkat ke musholla. Salah seorang orang tua yang anaknya pernah mengikuti kegiatan belajar bersama di rumah mengatakan kalau anaknya tidak mau pergi ke musholla meskipun dibujuk dan dipaksa. Aku masih teguh dengan pendirianku yaitu mengikuti usulan takmir.
Hari raya dua tahun yang lalu, aku bersama Widut mudik ke Bojonegoro selama hampir dua bulan. Ketika itu, suatu hari, kakak ipar mengabari kalau adik-adik diminta belajar bersama di rumah lagi dengan alasan “daripada mereka tidak mengaji karena tidak mau ke musholla”. Mendengar kabar itu, sebetulnya aku bertekad untuk tidak mahu ikut campur dalam urusan itu. Dengan kata lain, aku tidak ingin terlibat lagi pada kegiatan belajar bersama itu.
Aku kembali ke Salatiga. Kegiatan belajar bersama itu telah berjalan kembali dan dihidupi secara bergantian oleh kedua kakak ipar yang didukung penuh oleh kedua orang tua (mertuaku). Kegitan belajar bersama itu diselenggarakan di rumah mertua setiap habis maghrib. Aku tidak ikut terlibat di dalamnya. Namun, suatu hari, aku diminta untuk mengajar mereka seminggu sekali. Awalnya aku menolak tetapi setelah curhat kepada Abah akhirnya aku mengiyakan permintaan itu. Pendampingan yang kulakukan awalnya hanya seminggu sekali namun seiring berjalannya waktu malah aku menjadi mendominasi.
Ide Pendirian Sanggar Pelangi
Ide pendirian Sanggar Pelangi sebetulnya tidak ada atau tidak terencana sama sekali. Hanya saja, ketika mudik ke Bojonegoro tahun ini, aku bertekad ingin mendirikan rumah baca untuk mendukung kegiatan belajar bersama tersebut. Buku-buku yang kami miliki akan kami buka untuk umum di rumah baca tersebut.
Juni 2018, beberapa rombongan KKN dari UGM bertamu ke rumah. Mereka mengatakan akan membuat program rumah pintar dengan konsep belajar yang mirip dengan yang aku terapkan di kegiatan belajar bersama. Aku mengusulkan kalau program rumah pintar itu diintegrasikan dengan rumah baca yang mau kubuat. Mereka menyetujui. Namun, setelah berdiskusi dengan seksi pendidikan RT 1 serta menyelenggarakan pertemuan dengan ketua RT 01, ketua Ta’mir, ketua RW 03, dan segenap tokoh masyarakat menghasilkan kesepakatan bahwa bainya rumah pintar itu difokuskan di musholla. Melihat hal itu, aku pun mundur dan memisahkan diri dari konsep yang ditawarkan oleh KKN.
Kegiatan belajar bersama di rumah tetap berjalan seperti biasanya. Mahasiswa KKN menjalankan programnya untuk para remaja yang ada di sini sehingga tidak berpengaruh pada kegiatan belajar di rumah yang rata-rata persertanya adalah masih bersekolah SD. Aku pun memutuskan untuk membuat wadah bagi mereka untuk mengidentifikasi diri. Bukan untuk mememcah belah adik-adik yang belajar di sini dengan yang tidak belajar di sini. Oleh karena itu wadah Sanggar Pelangi kupilih. Pemilihan nama ini bukan karena alsan yang macam-macam. Lebih karena alasan teknis saja yaitu karena domain rumahpelangi.com sudah digunakan maka aku memutuskan menggunakan nama domain sanggarpelangi.com yang belum digunakan. Akhirnya mau tidak mau konsep rumah pelangi yang telah dijalankan Widut sekian tahun kuubah menjadi Sanggar Pelangi.
Waktu Belajar
Saat ini, aku mengurus sepenuhnya kegiatan Sanggar Pelangi secara teknis. Konsep ini aku terapkan betul-betul dan berharap bisa menjadi media pembentukan karakter bagi adik-adik.
Aku menyediakan waktu untuk mendampingi adik-adik belajar mulai setengah 5 sore sampai maghrib. Menjelang maghrib, mereka kuminta untuk pergi ke Musholla. Sedangkan aku sendiri harus ke Masjid untuk menunaikan kewajiban. Namun tanpa aku duga, mereka malah membuat jadwal adzan dan imam sendiri untuk sholah maghrib berjamaah di tempat belajar. Melihat hal itu berjalan sekian lama, aku tidak tega. Ada seorang adik yang belum hafal tahiyat tetapi mendapat jatah menjadi imam. Aku pun kembali sowan ke Abah untuk bertanya mengenai perkara ini. Abah mengisyaratkan bahwa untuk sementara tidak apa-apa aku mengalah dan memimpin mereka sholat di rumah. Aku pun mengikuti isyarat Abah.
Waktu yang kusediakan itu tampaknya masih kurang bagi adik-adik. Mereka meminta tambahan waktu belajar. Mereka ingin waktu belajar ditambah sampai isya. Aku pun memenuhinya. Belum lama waktu belajar baru diterapkan kemudian mereka meminta tambahan waktu lagi yaitu kegiatan belajar dimulai pukul 15.00 sampai pukul 19.00. Aku mengiyakan lagi. Nampaknya waktu itu masih kurang juga. Mereka meminta hari jum’at yang sebetulnya kujadikan hari libur untuk me time bersama keluarga diminta juga untuk menemani mereka belajar bersama.
Bgitulah perjalanan singkat Sanggar Pelangi berdiri.