Minggu yang lalu, tepat di hari ulang tahun Widut, kami pergi ke sebuah toko buku bekas yang berada di Salatiga. Kami mendapatkan informasi dari teman kalau di sana ada buku-buku bagus untuk anak. Kami disuruh cepat-cepat kesana agar tidak kedahuluan orang lain.
Hujan yang begitu deras tidak menyurutkan niat kami untuk tetap melanjutkan perjalanan ke toko buku. Setibanya di sana, kami terkejut ketika buku-buku yang tersedia begitu banyak dan bagus-bagus. Widut memilah-milah buku bacaan yang dirasa cocok untuk si K begitupula denganku.
Hampir satu jam kami membolak-balikkan buku, akhirnya kami memutuskan untuk membeli beberapa. Widut membawa setumpuk buku kemudian minta kepada penjual untuk menghitungnya. “Rp. 125.000”, kata si penjual. “Kok murah banget”, batinku.
Aku pun menambahkan beberapa buku bacaan untuk si K lagi dan satu buku untukku sendiri. Widut minta satu buah novel untuk dirinya. Sehingga total buku yang kami beli berjumlah 24 buku seharga Rp. 140.000. Benar-benar sangat murah. Kalau buku-buku itu dibeli di toko buku baru tentu harganya akan mencapai 1 juta mengingat beberapa buku menggunakan hard cover dan lumayan tebal.
Mengajak Membaca, Bukan Menyuruh
Aku percaya bahwa suatu ajakan akan lebih mudah diterima oleh anak dibandingkan dengan suatu perintah. Untuk itu, disamping aku menemani si K untuk bermain biasanya aku sambil membawa buku untuk dibaca. Buku yang kubaca bukanlah buku bacaan untuk orang dewasa melainkan buku bacaan untuk anak-anak yang penuh dengan gambar dan berhias aneka warna. Tanpa mengajak si K membaca pun biasanya dia sudah tertarik untuk ikut nimbrung melihat-lihat buku bacaan yang kubawa. Ia pun kemudian mengajukan segudang pertanyaan terkait gambar yang dilihatnya pada buku.
Aku merasa perlu membaca semua buku bacaan anak-anak sebelum memberikannya pada si K. Hal ini kulakukan untuk mengetahui apakah buku itu benar-benar cocok untuk si K atau tidak. Jika buku bacaan itu terkait dengan sejarah, aku pun perlu mengoreksinya jika ada bagian yang kurasa kurang pas seperti kisah perang Bubat antara kerajaan Majapahit dengan kerajaan Pasundan. Aku perlu menilik buku babon Atlas Walisongo untuk verifikasi kisah itu.
Mengondisikan Suasana
Kecenderungan anak adalah suka bermain-main. Menghadapkan buku pada anak yang sedang asyik bermain akan sia-sia belaka. Terlebih jika lingkungan kita tidaklah berupa orang-orang yang gemar membaca. Gadget, mainan, ataupun hal lainnya akan lebih menarik anak untuk menyenangkan hatinya. Untuk itu, pengondisian suasana sangat diperlukan.
Aku rasanya tak pernah memaksa si K untuk membaca buku atau membuat jadwal khusus untuknya membaca. Aku biarkan saja naluri kekanak-kanakannya tetap tumbuh disamping pada saat-saat tertentu mengondisikan suasana untuk ia membaca.
Pengondisian biasanya kulakukan pada malam hari karena aku memiliki banyak waktu luang pada saat itu. Ketika si K sudah mulai tampak jenuh dengan aneka mainan yang dimilikinya, aku biasanya mengambil buku sambil memberi instruksi pada si Widut untuk berhenti mainan gadget. Perhatian kami fokuskan pada si K. Kalau toh pengondisian ini gagal, kami biasa saja. Tidak memaksa si K untuk tetap membaca atau sekedar melihat-lihat gambar. Biarkan saja suasananya mengalir sambil menunggu waktu transisi si K ke aktivitas yang lain. Selama ini, waktu yang tepat untuk memberikan pengondisian adalah pada masa transisi aktivitas atau ketika si K akan atau sedang beralih dari satu aktivitas ke aktivitas yang lain di mana daya fokusnya pada aktivitas belum begitu kuat.
Pencapaian Si K
Suatu hari, si K berhitung mulai angka satu sampai sepuluh sambil didendangkan. Hal itu membuat ibu dan neneknya terkejut. “Kok sudah bisa?”, katanya. Widut tampak tergopoh-gopoh mendatangiku dan memberitahuku akan hal itu. Aku tidak kaget. “Memang sudah bisa. Lha wong memang kuajari”. Kataku.
Aku sebenarnya tidaklah mengajari si K berhitung atau dengan kata lain hitungan itu sebenarnya bukan tujuan melainkan alat. Misalnya ketika si K sulit dan berontak ketika mau dipakaikan baju maka aku mengajaknya untuk berhitung untuk mengalihkan perhatiannya. Angka ketiga biasanya untuk satu sisi celana atau lengan. Setelah selesai memakai baju, aku memberi apresiasi pada si K dengan mengajaknya tepuk tangan. Tampaknya hitungan itu diulang-ulang si K setelah memakai baju. Dia hafal tetapi tidak mengerti apa maksudnya. Seperti huruf hijaiyyah. Ia sudah hafal sebagian meskipun ia tidak diajari secara rutin melainkan pengajaran itu sering terselip hanya untuk pengalih perhatian belaka.
Kesukaan si K terhadap buku tetkadang sebetulnya membuat repot juga. Ketika malam hari, kami (aku dan Widut) sudah sangat kelelahan dan mengantuk namun si K belum mau bobok biasanya dia akan mengambil buku untuk menarik perhatian kami. Ia tahu kalau dia membaca buku biasanya perhatian kami akan penuh padanya. Untuk itu dia berusaha menarik perhatian kami dengan buku. Satu buku dibolak-balik dan gambar-gambar di dalamnya ditanyakan pada kami, “ini apa? yang ini?…”. Ketika satu buku habis, ia akan mengambil buku yang lain sampai buku di lemari habis. Kami pun semakin capek dan mengantuk.
Pengenalan visual si K cukup bagus. Ketika misalnya ia menanyakan gambar mobil “ini apa?” kemudian kujawab “kodok” maka ia akan berteriak membetulkan “kobil…!” serunya. Ia sebetulnya sudah bisa mengucapkan mobil namun tampaknya ia masih cenderung menggunakan kobil karena sudah terbiasa menggunakan kata itu untuk menamai mobil.