Ada sebuah hadits di dalam kitab Shohih Bukhori yang berbunyi
بَلِّغُوا عَنِّى وَلَوْ آيَةً
Hadits tersebut sangat populer di kalangan masyarakat. Arti dari hadits tersebut yang paling populer adalah sebagai berikut:
“Sampaikanlah olehmu sekalian dariku meski hanya satu ayat (al Qur’an).”
Hadits tersebut di atas sering kali dijadikan sebagai alsan untuk menyampaikan ayat-ayat Al-Qur’an meskipun hanya sepenggal. Tak jarang ayat disampaikan merupakan ayat mutasyabihat atau ayat yang memiliki banyak kemungkinan makna dan pemahaman sehingga perlu direnungkan agar diperoleh pemaknaan yang tepat yang sesuai dengan ayat-ayat muhkamat.
Contoh Ayat mutasyabihat adalah:
الرّحْمٰنُ عَلَى العَرْشِ اسْتَوَى سورة طه :5
Ayat di atas jika disampaikan sepenggal saja atau tanpa diikuti dengan ayat lain maka akan memunculkan pemahaman bahwa Allah bertempat di atas Arsy. Padahal pada ayat lain disebutkan
وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ (سورة الحديد :4)
dan
أَلاَ إِنَّهُ بِكُلِّ شَىْءٍ مُحِيْطٌ سورة فصّلت :54
Jika ayat pertama diartika secara dhohiriyah, maka ayat kedua dan ketika juga harus diartikan secara dzohiriyah. Itu berarti Allah berada pada tempat yang berbeda-beda pada satu waktu yang sama yaitu berada di atas ‘arsy, ada di antara kita, ada bersama kita serta meliputi dan mengelilingi alam dengan Dzat-Nya dalam saat yang sama. Kalau Allah berada di tiga tempat yang berbeda dalam waktu yang sama apakah Allah memiliki tiga wujud atau Allah memiliki satu wujud tetapi ada di mana-mana?
Menurut al Qusyairi- dzat yang satu mustahil pada saat yang sama berada di semua tempat. Ia juga berkata jika mereka menjawab : firman Allah ( وَهُوَ مَعَكُمْ ) yang dimaksud adalah dengan ilmu-Nya, dan firman Allah ( بِكُلِّ شَىْءٍ مُحِيْطٌ ) maksudnya ilmu Allah meliputi segala sesuatu. Maka kita katakan : jika demikian, maka ( عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى ) berarti qahara, hafizha dan abqa (menundukkan dan menguasai, memelihara dan menetapkannya)”. Maksud al Qusyairi adalah jika mereka di sini mentakwil ayat-ayat Mutasyabihat semacam ini dan tidak memaknainya secara dzahirnya, lalu mengapa mereka mencela orang yang mentakwil ayat istiwa’ dengan qahr, Ini adalah bukti bahwa mereka telah berpendapat tanpa disertai dengan dalil.
Contoh ayat lain jika disampaikan secara sepenggal akan menimbulkan kesimpulan yang salah adalah
وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَٰٓئِكَةِ ٱسْجُدُوا۟ لِءَادَمَ فَسَجَدُوٓا۟ إِلَّآ إِبْلِيسَ أَبَىٰ وَٱسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ ٱلْكَٰفِرِينَ
Ayat ini menurut terjemahan oleh kementerian agama adalah sebagai berikut:
Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: “Sujudlah kamu kepada Adam,” maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir.
Jika seseorang menyampaikan ayat tersebut pada seseorang yang benar-benar belum mengenal islam maka bisa saja dia beranggapan kalau iblis adalah termasuk malaikat. Padahal di ayat lain disebutkan bahwa sifat malaikat adalah tidak pernah membantah apa yang diperintahkan padanya. Mereka selalu mentaati perintah. Sebagaimana yang termaktub pada ayat berikut ini:
(لاَ يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ (التحريم:6
Sedangkan menurut tafsir Al-Jalalain disebutkan bahwa Iblis adalah nenek moyang bangsa Jin.
واذكر -أيها الرسول- للناس تكريم الله لآدم حين قال سبحانه للملائكة: اسجدوا لآدم إكرامًا له وإظهارًا لفضله، فأطاعوا جميعًا إلا إبليس امتنع عن السجود تكبرًا وحسدًا، فصار من الجاحدين بالله، العاصين لأمره.
Bersambung…