Kisah Mbah Amin Saat Dijajah Belanda & Jepang

Mbah Amin adalah seorang nenek yang tergolong muammar atau memiliki umur panjang. Kalau tidak salah, umurnya saat ini sudah 90 tahun lebih. Beliau masih tampak sehat dan begitu bersemangat saat diminta untuk bercerita tentang masa lalu.

Aku suka menemani Mbah Amin ngobrol. Melihat beliau bersemangat bercerita tentang masa lalunya saat masih berdagang kebutuhan pokok berkeliling dari satu kota ke kota lainnya membuatku tak bosan mendengarkan ceritanya. Kota-kota yang pernah dikunjunginya untuk berdagang antara lain Semarang, Solo, Magelang, Muntilan, Yogya, dan beberapa kali ke Jakarta. Beliau pernah pergi ke Yogya dari Salatiga dengan berjalan kaki. Saat itu, kata beliau, baru ada satu bis yang beroperasi yaitu bis Adam yang berwarna merah.

Mbah Amin biasanya berdagang ketela pohong atau hasil bumi lainnya di Pasar Legi Solo atau di Beteng dan Kranggan Semarang. Beliau menceritakan pernah membawa satu truk ketela pohong ke Solo dijual sendiri ke pengunjung di pasar. Dagangan itu habis kurang dari satu jam saja. Dagangannya sangat laris. Beliau mengatakan kalau di Solo saat itu yang laris adalah sejenis umbi-umbian sedangkan di pasar semarang lebih banyak permintaan buah.

Truk yang beroperasi dari Solo ke Semarang atau sebaliknya dikenal dengan istilah truk Bangjo atau King. Truk ini biasanya membawa sayuran dari Solo ke Semarang. Mbah Amin biasa menggunakan truk kosong (balen) dari Semarang untuk memuat dagangannya ke Pasar Legi di Solo. Biayanya jauh lebih murah daripada menyewa truk sendiri.

Mbah Amin berdagang mulai usia 7 tahun sampai beliau berusia 60-an. “Aku biyen ki mobile”, kata mbah Amin yang menegaskan bahwa mobilitas beliau sebagai pedagang sangat tinggi waktu itu.

Di zaman penjajahan Belanda, kata mbah Amin, mencari pakaian di pasar masih mudah. Akan tetapi saat dijajah oleh Jepang pakian menjadi sangat sulit didapatkan. Beliau pernah mencari pakaian keliling dari satu pasar ke pasar yang lain lintas kota tetapi tidak mendapatkan kecuali pakaian bekas berupa selendang (jarik) satu, sarung satu, dan atasan satu.

Pada zaman Penjajahan Belanda, keluarga mbah Amin mendapat bagian tanah bekas arena pacuan kuda (lemah balapan Londo). Namun ketika Belanda sudah pergi, tanah itu dikuasai pemerintah melalui angkatan darat ABRI.

Mbah Amin mengaku kalau Belanda yang datang sebelum penjajahan Jepang warna kulitnya putih sedangkan setelah penjajahan Jepang warna kulitnya merah.

Langkanya pakaian saat penjajahan Jepang membuat masyarakat membuat pakaian dari serat pohon nanas yang dinamakan brandil. Hasil tenun serat itu namanya ada embel-embel brandil yaitu tapeh brandil, jarik brandil, dll.

Saat aku tanya tentang kerja paksa, beliau mengaku adanya kerja paksa saat penjajahan Jepang saja. Kerja paksa itu disuruh membuat jalan dan hanya diberi nasi (sego nuk) dengan lauk gereh pethek (ikan asin).

Saat penjajahan Jepang, mbah Amin mengaku sekolah diajar menggunakan campuran bahasa Jepang dan bahasa lokal. Beliau dulu bisa membaca aksara Jepang dan berbicara bahasa Jepang. Beliau masih ingat nama gurunya pak Karno dari Suruh kabupaten Semarang dan pak Sam dari Cimahi Bandung.

Bersambung…

Ahmad Budairi
Ahmad Budairihttps://bloggersejoli.com/
Seorang Web developer yang suka menulis artikel di blog. Kader Penggerak Nahdlatul Ulama (NU)

Bacaan Menarik Lainnya

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Baru Terbit