Budaya pacaran adalah hal yang kadung dianggap lumrah oleh sebagian besar masyarakat di Indonesia. Wabil khusus bagi para remaja yang menginjak usia adolesen atau usia puber pertama.
Remaja yang masuk pada usia puber pertama ini biasanya akan suka mencoba hal-hal yang baru. Mereka akan belajar mengambil keputusan sendiri untuk hal-hal yang menyangkut urusan hajat hidupnya. Contoh kecilnya memilih tempat kos, memilih organisasi yang sesuai, atau memilih kelompok atau genk. Apabila keputusan-keputusan itu diambil tanpa kematangan berpikir maka keputusan itu cenderung mengikuti apa yang sering ia lihat atau simpulan dari apa yang sering terjadi di sekitar ia tinggal. Jika pola ini terjadi pada remaja yang tinggal di dalam lingkungan kurang baik maka pengaruh negatif itu akan banyak berperan pada fase-fase kehidupan selanjutnya.
Istilah santriwati yang digunakan di sini merujuk pada remaja usia puber pertama yang mengikuti pendidikan model pondok pesantren. Umumnya, pendidikan model pondok pesantren memberlakukan aturan yang ketat mengenai interaksi antara santri putra dengan santri putri (santriwati). Aturan itu jika dijalankan dengan penuh kesadaran sebetulnya akan berdampak positif bagi santri. Hanya saja yang namanya remaja memang ada yang bandel sehingga santri yang melanggar aturan dengan berbagai macam cara tampaknya selalu ada di setiap pondok pesantren.
Gambaran mengenai santriwati yang terpedaya budaya pacaran disajikan berdasarkan pengamatan dan pengalaman berinteraksi dengan mereka secara langsung ataupun melalui cerita para remaja yang mengaku pernah menjalin hubungan dengan santriwati.
Santriwati yang terpedaya budaya pacaran biasanya akan berusaha all-in menyenangkan pacarnya. Kelembutan hatinya seringkali tiada mampu menolak keinginan-kenginan pacar meskipun sebenarnya berseberangan dengan nurani. Ketidakmampuannya menolak itu dibarengi dengan karakter yang tidak ingin menyakiti perasaan orang lain. Meskipun awalnya menolak, seringkali akhirnya mengabulkan keinginan itu ketika merasa penolakan itu akan membuat sakit hati sang pacar. Ya! Meskipun pengabulan itu karena terpaksa.
Pelajaran tentang khidmah terhadap suami seringkali dipraktikkan dalam berpacaran. Aku seringkali melihat sendiri mereka berusaha melayani pacar dengan cara mengambilkan makanan dan minuman untuk pacar ketika makan bareng di warung, mencucikan pakaian hingga celana dalam, hingga melayani persetubuhan ketika hubungan itu sudah semakin jauh dan salah satu atau keduanya merasa memiliki satu sama lain. Untuk kasus yang terakhir ini kutemukan saat masih kuliah di Surabaya. Sedangkan untuk dua kasus yang lain kutemukan di beberapa lingkungan kampus dan/atau pondok di Surabaya, Salatiga, Jepara, Mojokerto, Kediri, dan Bojonegoro.
Remaja yang keluar dari pondok kemudian mengikuti pendidikan formal di kampus-kampus biasanya akan mengalami gap budaya di semester awal. Ketika perkuliahan terus berlanjut dan mereka kemudian mampu beradaptasi dengan budaya baru, ada sebagian dari mereka yang kebablasan mengikuti budaya itu. Hal ini terjadi karena ia menemukan kebebasan yang tidak ditemukan di pondok dulu. Selain itu, faktor usia puber pertama yang cenderung ingin mencoba hal baru juga menguatkan motif itu.
Aku pernah melayangkan pertanyaan pada temanku yang kuliah di suatu kampus dengan label Islam, “Mahasiswi di kampusmu kok tampaknya lebih cantik-cantik dan enak di pandang, ya?”. Dia menjawab, “yang enak dipandang itu mahasiswi semester awal karena mereka baru keluar dari sarang. Masih virgin. Tapi kalau semester atas ya sama saja. Wis dol”. Jawabnya disambut gelak tawa oleh kami yang mendengarnya.
Jawaban dari temanku itu kalau dipahami secara tekstual akan bisa menumbuhkan anggapan sarkas atau offensif terhadap santriwati. Jawaban itu tampak menggenalisir semua santriwati yang kuliah semester awal masih suci dari dosa pacaran sedangan yang semester atas semuanya sudah kehilangan keprawanan. Namun, aku melihatnya dari sudut pandang lain. Aku melihat antara santriwati semester awal dan santriwati semester atas adalah variabel yang perlu diuji. Aku menihilkan kuantitas. Hasilnya pun tak bisa digunakan untuk menggeneralisisr keadaan yang sebenarnya. Hanya saja aku mengamini sebagian dari jawaban temanku itu. Memang banyak temuan yang kudapat terkait santriwati unyu-unyu di semester awal yang menjadi buas di semester atas.
Pesanku untuk santriwati: Jangan pernah sekali pun mencoba untuk pacaran. Ketika kalian sudah masuk ke dalam budaya itu maka akan sulit untuk keluar darinya. Perasaan kalian yang ditempa di pesantren untuk memancarkan keindahan dan menebar kelembutan akan disalahgunakan oleh penjahat kelamin untuk memuaskan nafsunya.