Banyak teman seusiaku yang memilih meninggalkan anak untuk bekerja karena merasa jenuh kalau seharian mengurus anak. Mereka lebih memilih menggaji orang lain untuk mengasuh anak meskipun gaji yang didapat dari bekerja habis untuk hal itu. Ada juga yang menitipkan anaknya kepada orang tua selama ditinggal bekerja.
Entah disadari atau tidak, seringkali, orang tua kurang mempedulikan bonding dengan anak. Percakapan yang dilakukan seringkali sebatas say hello belaka alias formalitas (jawa: pantes-pantese). Interaksi yang dilakukan dari hati ke hati untuk mendekatkan hubungan sulit dilakukan karena sepulang bekerja sudah merasa lelah. Itu pun terkadang jiwanya masih tertinggal di tempat kerja meskipun secara fisik berkumpul dengan anak.
Beberapa teman ada yang curhat mengenai anaknya yang sulit diatur. Misalnya ketika anaknya dilarang untuk melakukan sesuatu kemudian ia berusaha mencari pembelaan dari kakek, nenek, atau orang yang mengasuhnya sepanjang hari kala ditinggal bekerja. Walhasil larangan itu diabaikan karena merasa mendapat pembelaan untuk melakukan apa yang diinginkannya.
Lalu dekatnya anak dengan kakek, nenek, baby sitter, atau orang-orang sekelilingnya itu menyebabkan anak susah diatur? Bukan kedekatannya yang menjadi penyebab melainkan perlakuan kurang tepatlah yang menjadi biang keladi.
Seorang anak yang dibiarkan saja mencari pembelaan ketika dilarang atau diingatkan akan cenderung bandel. Ia akan berusaha mencari pembelaan dari orang-orang sekelilingnya sampai ia merasa aman untuk melakukan apa yang diinginkannya. Jika hal ini terus berlanjut, suatu saat ia akan berani mencari pembenaran ketika kedapatan melakukan kesalahan.
Pada tataran yang lebih ekstrem, anak yang terbiasa mencari pembelaan itu akan mudah mengancam jika merasa tidak ada yang mau membelanya lagi. Entah mengancam mau pergi dari rumah (minggat), mogok makan, tidak mau sekolah, dan lain sebagainya. Puncaknya adalah ketika ia sudah berani mengancam akan bunuh diri jika tidak dituruti kemauannya.
Jadi, apa dong kesimpulannya penyebab anak susah diatur? Salah satu jawabannya adalah terlalu dimanja. Oleh sebab itu, aku membuat kesepakatan dengan mertua, ipar, dan orang-orang terdekat lainnya terkait apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan saat aku sedang memarahi si K. Tidak ada satu pun yang boleh membela saat aku sedang khutbah untuk si K. Termasuk ibunya sendiri.
Penyebab lainnya adalah orang tua yang tidak bisa jadi teladan. Misalnya orang tua yang melarang anaknya bermain gadget tapi dia sendiri tidak bisa jauh dari gadget akan membuat larangan itu ibarat angin lalu. Kalaupun si anak itu menuruti larangan karena takut dihukum bisa jadi ia akan menjadi kalap bermain gadget saat jauh dari orang tuanya. Hal itu jauh lebih berbahaya karena orang tua tidak bisa mengawasi dan mengajari penggunaan gadget yang benar.
Ada sebuah cerita mengenai seorang ayah yang sowan kyai untuk meminta doa. Ayah itu mengaku kalau gigi anaknya habis karena ia tidak bisa dilarang makan permen. Oleh sebab itu, si ayah berniat meminta doa dari sang kyai agar anaknya mau berhenti makan gula. Setelah mendengar cerita itu, sang kyai meminta si ayah pulang dan kembali 3 hari lagi dengan membawa serta anak yang dimaksud.
Singkat cerita. Setelah 3 hari, si ayah kembali ke rumah kyai dengan mengajak anaknya. Sesampainya di sana, ternyata sang kyai hanya berpesan pada anak agar tidak kebanyakan makan permen tanpa memberikan air yang sudah didoakan. Melihat hal itu, si ayah setengah protes. Dia bilang kalau sekedar dikasih tau atau dilarang untuk tidak makan permen sudah dilakukannya setiap hari dan tidak mempan.
Mendengar si ayah protes, sang kyai kemudian menjelaskan kalau alasannya menyuruh si ayah kembali lagi setelah 3 hari adalah karena mau puasa tidak makan gula terlebih dahulu. Sang kyai tidak mau melarang anak makan permen sedangkan beliau sendiri masih makan bahan dasar permen yaitu gula. Kata-kata orang itu lebih didengar jika diucapkan hasil pengalaman pribadi. Bukan sekedar omdo belaka.