Kau Memanggilku Kafir, Mengapa?

Sebagai manusia, kita diciptakan untuk saling mengenal satu sama lain. Melalui perkenalan itu, kita bisa saling membantu manakala ada salah satu diantara kita tengah mengalami musibah atau hal lain yang memang membutuhkan bantuan.

Didalam berinteraksi ataupun bergaul (muasyaroh) dengan orang-orang yang kita kenal atau lebih luasnya dengan masyarakat, kita diperintahkan untuk menggunakan cara-cara yang baik (ma’ruf). Menyuruh ataupun mengajak kebaikan harus dengan baik (amar ma’ruf bil ma’ruf). Mencegah kejahatan dan keburukan pun harus dengan cara yang baik (nahyun anil munkar bil ma’ruf). Apalagi ketika bersenda gurau atau sekedar nongkrong bersama sambil menikmati secangkir kopi misalnya.

Konflik sosial secara berkelompok maupun perorangan merupakan hal yang wajar di dalam proses interaksi sosial. Perbedaan karakter, tujuan, kepentingan, pendapat, dan pendapatan merupakan sebagian faktor penyebab terjadinya konflik sosial.

Ketika kita misalnya dihadapkan dengan sebuah konflik dengan orang lain, kita harus tetap menyikapinya dengan cara yang baik. Kita tak perlu mencari berbagai cara dan dukungan agar bisa menang melawan orang yang berkonflik dengan kita. Lebih baik kita mencari cara untuk berdamai dengannya. Kalaupun kita merasa benar dan menganggap orang tersebut yang salah, kita tak perlu juga mengharap ia meminta maaf karena itu akan membuat hati kita diliputi takabur. Merasa lebih baik dari orang lain.

Di era media sosial menjadi primadona bagi mayoritas penduduk dunia, interaksi sosial pun semakin mudah dilakukan. Kita bisa mengenal orang-orang dari berbagai penjuru dunia tanpa harus bertatap muka secara langsung dengan mereka. Melalui sebuah pesan singkat,  kita bisa berbagi canda tawa dengan kawan-kawan maya kita.

Kemudahan akses media sosial membuat kita seakan tak memiliki sekat lagi. Aktivitas-aktivitas pribadi biasa kita bagikan, opini, pengetahuan, pandangan, ide, dan hal lainnya bercampur jadi satu dengan obrolan sekumpulan emak-emak yang ngrumpi di dapurnya masing-masing menggunakan teknologi sosial media.

Keberagaman karakter, pendidikan, wawasan, kesukaan, minat,  dan hal lainnya membuat konflik sosial pun sering terjadi di media soaial. Ketika terjadi suatu konflik dan pecahlah perang, biasanya masing-masing pihak yang bertikai akan stalking dengan berbagai cara terhadap lawan. Bukan supaya lebih mengenal melainkan untuk mencari keburukan lawan. Ketika keburukan lawan ditemukan, perang status, twitt, digg, atau lainnya akan berkobar. Tergantung media sosial apa yang digunakan. Pemilihan diksi yang digunakan dalam perang ini biasanya cukup kasar. Mungkin karena tidak khawatir akan ada batu yang mendarat di kepala.

Sungguh mengherankan ketika melihat orang-orang di media sosial sangat mudah mengucapkan makian, umpatan, panggilan ataupun julukan yang buruk, dan lain sebagainya. Tidakkah mereka berusaha memahami perasaah orang lain?

Kita harus ingat bahwasannya benar belum tentu baik. Misalnya seperti ini: Ketika ada orang yang hanya memiliki satu kaki lalu kita dengan lantang memanggilnya “hai, pincang!”, atau ketika ada tuna rungu lalu kita memanggilnya “hai, budeg!”. Memang panggilan itu sesuai dengan kondisi yang kita panggil namun, apakah panggilan seperti itu baik? Hal ini sama halnya memanggil oran lain dengan sebutan Kafir meskipun orang tersebut agamanya tidaklah sama dengan kita.

Di setiap agama ada istilah yang maknanya serupa dengan istilah kafir. Bisa saja kita menganggap “kafir” seseorang karena agamanya berbeda namun, kita juga bisa balik dianggap “kafir” karena agama kita berbeda dengannya. Orang kafir adalah  seburuk-buruknya umat menurut setiap agama. Kalau seseorang merasa sudah bersungguh-sungguh berusaha menjalankan agama yang diyakininya dengan sebaik-baiknya lalu disebut sebagai orang kafir oleh penganut agama lainnya apakah tidak konyol?

Mari kita coba merenung dan membayangkan seandainya ketika Nabi Muhammad berdakwah sering dimusuhi dan ketika hendak sholat sering dilempari dengan kotoran hewan lalu beliau marah dan mengumpat “hai, kafir! Kutil Babi, kau!“, apa yang akan terjadi? Mungkin panggilan kafir dan kutil babi akan menjadi sunnah. 

Lalu mengapa kau memanggilku kafir? Apa tujuannya?

Cheers
Nusagates

Ahmad Budairi
Ahmad Budairihttps://bloggersejoli.com/
Seorang Web developer yang suka menulis artikel di blog. Kader Penggerak Nahdlatul Ulama (NU)

Bacaan Menarik Lainnya

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Baru Terbit