Catatan mengenai jomblo-jomblo bahagia di hari nan raya ini ditulis berdasarkan perenungan dan pengalaman pribadi. Boleh dibandingan sekarang juga dengan kenyataan yang dirasakan.
Aku menulis catatan ini sebenarnya karena gemes melihat teman-teman yang sok melo, sok sedih, dan sok dramatis ketika ditanya “Kapan Nikah?”. Iya sieh! Aku tahu memang ada beberapa kawan yang memang benar-benar sedih ketika mendapat pertanyaan itu lalu ingat usia yang tak lagi muda. Tapi… apa iya dengan mendramatisir sampai
Status djombloe itu sebetulnya anugerah. Ciyeeee… Iya! Anugerah bagi mereka yang suka mbribik sana sini. Bagaimana ndak jadi anugerah lo, ahm… mau godain siapa saja gak perlu takut ada pesawat alien piring terbang menabrak kepala. Mau salaman sama gadis kinyis-kinyis juga gak takut dipelototin sama KAPOLDA alias kepala polisi daerah rumah tangga. Pokoknya aduhai kali lah jadi jomblo itu mah.
Jomblo itu ya, kalau mau reunian dengan teman-temannya yang disitu ada barisan mantan gak akan pakewuh. Beda dengan yang sudah punya pasangan. Ketemunya pasangan dengan mantannya pasangan (bingung ndak?) bisa-bisa mengubah suasana temu kangen menjadi perang batin yang dilanjut dengan twit wor sepulang reunian.
Aku pernah merasakan hari raya yang rasanya dipenuhi dengan desingan peluru. Waktu itu aku ngajak Widut, istriku bertemu dengan teman-temanku di kampus. Kebetulan di situ ada salah satu cewek yang pernah jadi bribikan tapi gagal kudapatkan. Aku lihat dia tampak sumringah dan penuh canda tawa seperti biasa. Aku merasa sangat lega dan menikmati pertemuan itu. Seusai acara itu, bencana mulai menyerang. Perjalanan pulang seakan diliputi awan hitam yang bergulung-gulung di atas kepala. Wajahnya doi semakin tak enak dipandang. Ia sudah mulai abai ketika kutanya sesuatu. Candaanku terasa garing melihat responnya yang cenderung datar. Duh,,, cilaka iki, pikirku.
Hari itu rasanya bener-bener apes seapesnya. Ketika sampai di rumah ternyata ada mantan bribikan yang maen. Dengan wajah sumringah dia menyambut kedatangan kami. “Matih, koen!”, batinku menahan jerit. Kulihat ekspresi Widut semakin cepat proses asemisasinya. Sepulangnya bribikan tersebut dari rumah, jurus pamungkas duhunjamkan padaku, tengkurep di kamar tanpa bisa diajak bicara sama sekali.
Bayangkan saja, mblo. Hari raya yang seharusnya bahagia malah jadi perang dingin. Itu baru satu faktor tidak menyenangkan. Belum lagi kalau ada temen main menyadari kalau istri tidak ikut menemui. Biasanya ia akan menanyakan. Aku kudu jawab piye? “Lagi ngambek di kamar.”, gitu?.
Tak kasih tau ya, mblo. Dulu itu, pertanyaan kapan nikah, kapan kawin, dan pertanyaan yang serumpun lainnya adalah pertanyaan yang paling kutunggu-tunggu setelah pertanyaan kerja di mana atau kuliah di mana. Pertanyaan itu menjadi favorit apalagi kalau yang tanya punya anak gadis cantik karena aku bisa balik tanya, “mau dijadikan mantu, ta?”. Pertanyaan apa pun yang terasa tidak mengenakkan hati dan memanaskan telinga berusaha kusulap menjadi peluang-peluang yang probabilitasnya selalu tinggi.
Kebahagiaan jomblo ketika ditanya kapan nikah itu kupelajari dari seseorang playboy yang pernah menggemparkan jagat percintaan di masanya. Pengikutnya lumayan banyak sih. Meskipun sebagian masih belum berani terang-terangan alias bertanya-tanya dalam hati “jangan-jangan tanya begini sebenarnya isyarat mau jadikan mantu. Ini hanya untuk memastikan kalau aku benar-bebar jomblo”. Padahal sebenarnya ya hanya basa-basi, pantes-pantese, daripada didiamkan.
Tapi, mblo… tapi… setiap jomblo memiliki cara tersendiri untuk menguatkan hati dalam menghadapi kejamnya rezim Jokowi para penindas kaum jomblo.
Viralkan, mblo! Buktikan bahwa kalian bahagia.