Bulan Juni, tiga tahun yang lalu, sepertinya adalah bulan di mana aku menerima nikah dan kawinnya Widut. Seorang gadis yang dianugerahi dengan keterbatasan daya dengar atau lebih dikenal dengan tuna rungu. Iya! Dia masih bisa mendengar namun tak dapat membedakan bunyi-bunyian yang didengarnya. Mungkin seperti ketika kita menyelam di dalam air yang tak dapat membedakan bunyi-bunyian yang kita dengar atau lebih parah lagi. Aku tak tahu.
Cintaku pada Widut tumbuh begitu saja dan semakin bertambah seiring bertambahnya usia. Kok bisa? Iya! Dulu hatiku masih mencla-mencle. Waktu kenal dan semakin dekat dengan Widut aku masih dekat dengan wanita lain. Bahkan! Wanita itu tak pernah tahu alasanku kenapa tiba-tiba menghilang dari peredaran. Tibalah suatu hari ia tanpa sengaja bertemu adikku yang mondok sekolah di yayasan tempat ia ngajar. Adikku memberi tahu kalau aku sudah menikah. Duh gusti… adikku tega banget. Hik… hik…
Wanita yang kuceritakan itu adalah seorang hamilatul Qur’an (hafidzoh), keturunan kyai, dan sedang menempuh S2 pendidikan matematika yang dibiayai pemerintah melalui program beasiswa. Wanita itu adalah bagian dari masa laluku yang paling membuat Widut minder. Ia sering merendah dengan mengatakan tak ada apa-apanya jika dibanding wanita itu. Tapi… memangnya siapa juga yang mau membandingkan? GR, lu…!
Mengingat masa laluku, aku sering merasa sedih. Bukan sedih karena kangen mantan. Bukan! Tapi karena aku malu dan merasa terlalu banyak kesalahan yang kuperbuat di masa lalu.
لو لا فضل الله علي ورحمته لكنت من الخاسر
Aku pun sangat beruntung dipertemukan dan disatukan dengan Widut dalam suatu ikatan suci. Aku sungguh takjub dengan ketabahan Widut menerimaku apa adanya beserta masa laluku yang suram. Aku terharu melihat Widut mampu menyulam air mata menjadi butiran mutiara yang berharga. Aku salut dan bangga padanya. Ia berkali-kali berjaya mengalahkan egoku yang bergunung meninju langit hanya dengan jurus bayangan semata.
Hubungan percintaanku dengan Widut terkesan datar. Tak ada romantis-romantisnya. Jangankan panggilan sayang, panggilan reguler saja banyak gak benernya.
Dulu sih… ini dulu. Widut memanggilku dengan panggilan kak. Ya! Panggilan formal yang sering digunakan pramuka. Panggilan itu terus berlangsung sampai si K lahir. Melihat hal itu, mbak ipar berkata kalau panggilan kak itu diteruskan maka bisa-bisa si K ikut memanggilku kak. Waktu itu aku mbatin, “biarin! Aku malah suka kalau dipanggil mas. Biar kelihatan muda terus”. Eh… selang beberapa waktu Widut tampak terpengaruh panggilan itu kemudian bergeser menjadi Abah. Aku sebenarnya risi dipanggil begitu. “Kok sajake mateni pasaran wae.”, batinku.
Foto selfi dengan Widut? Pernah sih beberapa kali. Tapi ya gitu. Beberapa kali aku mencoba berpose semenarik dan seromantis mungkin tetapi selalu gagal. Akhirnya setiap diajak selfie memilih menghindar atau berekspresi datar. Daripada berpose macem-macem malah tampak wagu.
Mengenai kata-kata romantis, aku dan Widut jarang menggunakannya. Ya! Meskipun kami adalah termasuk blogger militan yang saban hari terbiasa memilih diksi dan menyusun kalimat untuk tulisan-tulisan yang akan dimuat di blog masing-masing tapi ya gitu. Kata romantis seakan tak berlaku dalam hubungan. Keduanya tampak malu-malu. Entahlah! Mungkin masih menunggu hidayah.
Urusan kata-kata cinta sebenarnya mudah saja membuatnya. Tinggal ambil dari beberapa lirik lagu kemudian difilter dan di-spin biar tidak terdeteksi kalau hasil copy-paste. Setelah itu disajikan dalam bentuk yang disukai pasangan. Pasti mantab dan lezat. Tapi… oentoek menjandjikan hal itu ternjata boetoeh energi jang sangat besar dan akoe beloem mampoe.
Aku lebih suka dan mampu menulis mengenai kekagumanku pada Widut daripada memujinya secara langsung. Tulisan mengenai kekagumanku pada Widut sebagian kukirim pada sebuah acara lomba atau audisi. Dua diantaranya dipilih menjadi juara tingkat nasional. Satu diantaranya masuk sebagai kategori paling inspiratif menurut dewan juri. Hanya ada dua pemenang yang diambil dari seluruh peserta tingkat nasional. Satu tulisan lain dipilih masuk nominasi dan dinyatakan sebagai pemenang. Jumlah pemenang diambil 10 dari seluruh peserta nasional yang mengikuti program tersebut.
Daaa….n akhirnya ternyata aku gagal lagi membuat tulisan romantis untuk Widut. Sebenarnya aku membuat tulisan ini ingin menghiburnya yang tampak lagi kzl karena mendapat inbox dari seseorang yang tak dihrapkan inboxnya.
Anyway! Setelah lebar tinggi menulis ini sampai larut malam ternyata nalar percintaanku semakin tumpul. Daripada gak jadi ada kata-kata romantisnya mending aku gubahkan saja dari sebuah lagu.
Kutuliskan curhat ini kupersembahkan padamu
Walau tiada indah kata yang kugubah
Kuingatkan kepadamu akan janjimu padaku
Hanyalah satu pintaku jangan kau lupakan
akusholatWalau apapun yang terjadi tabahkan hatimu selalu
Jangan sampai kau tergoda mulut manis yang berbisa
Sehari kita berpisah seminggu terasa sudah
Duhai gadis pujaanku cintaku hanya untukmu