Kesadaranku terhadap pentingnya pendidikan sempat mengalami pasang dan surut. Kondisi surut paling dalam terjadi ketika mengenyam pendidikan di MTs Nurul Yaqin, satuan pendidikan tingkat SLTP yang berada di desa kelahiranku. Saat itu, aku sering bolos sekolah atau ngeblong saat jam pelajaran. Terlebih lagi ketika naik ke kelas 3, aku sering berangkat ke sekolah pukul 9 pagi atau pulang pukul 9 pagi. Guru-guru sudah paham kebiasaanku. Aku hanya ingin datang ke sekolah untuk mengurangi jumlah abstain di absensi harian saja.
Suka Bolos Sekolah
Sebagai siswa yang suka bolos, aku sangat beruntung karena saat itu, area sekolah tidak dipagar sehingga membuatku leluasa untuk keluar atau masuk dari/ke zona sekolah sesukaku tanpa ada yang berusaha menghalang-halangi semisal satpam yang menjaga gerbang sekolah.
Kebiasaanku bolos sekolah menyebabkan aku sering gagal mengikuti tes dan harus remidi untuk bisa naik kelas. Ketika ujian Nasional berlangsung, aku yang tidak menguasai materi pelajaran sama sekali sebetulnya tidak akan lulus jika tidak ada bantuan contekan dari seorang teman. Jadi, aku bisa lulus karena menyontek. Kalian percaya?
Lulus sekolah tidak bearti apa-apa waktu itu karena aku sudah sangat malas untuk berinteraksi dengan dunia pendidikan. Nilai ujian yang semuanya mendapat angka 5 juga tidak membuatku merasa sedih. Lha wong aku sudah tidak memikirkan sekolah apalagi nilai.
Tidak Melanjutkan Sekolah
Surutnya semangatku untuk sekolah membuatku memutuskan untuk berhenti sekolah atau tidak melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Hal ini didukung dengan kemampuan ekonomi keluarga yang sangat pas-pasan sehingga aku tidak mendapat paksaan untuk melanjutkan. Sungguh bahagia rasanya.
Temanku, Maghfur yang pernah kuceritakan pada artikel Sang Pemecah Keheningan sebetulnya mengajakku untuk melanjutkan sekolah ke Madrasah Aliyah Negeri Ngraho, satuan pendidikan yang lokasinya paling dekat dengan tempat tinggalku. Meskipun dia adalah kawan akrabku, aku menolak ajakannya. Rasanya aku sudah benar-benar jenuh untuk berinteraksi dengan dunia pendidikan.
Bekerja Menjadi Penambang Pasir
Keputusanku untuk tidak melanjutkan sekolah membuatku terlena untuk bekerja sebagai penambang pasir dari sungai dekat rumah. Kebetulan saat itu ada bos yang membeli pasir per pikul sebesar Rp. 250. Aku ikut kerja di sana selama kurang lebih semusim kemarau penuh. menambang pasir dari sungai memang hanya bisa dilakukan pada musim kemarau karena kalau musim penghujan biasanya sungainya banjir dan pasirnya tidak bisa diambil.
Menjadi penambang pasir hasilnya lumayan juga. Waktu itu, aku bisa membeli handphone pertamaku merk Nokia entah tipe berapa lupa. Di saat teman-teman yang lain belum memiliki handphone, aku sudah memilikinya yang kudapat dari hasil kerjaku dari menambang pasir. Hal ini membuatku semakin merasa tak perlu sekolah lagi.
Selama 3 tahun, aku menjadi penambang pasir setiap musim kemarau dengan berganti-ganti bos. Selama 3 tahun itu pula lah aku membiarkan rambutku tumbuh tanpa memotongnya.
Menginjak tahun ketiga, aku baru mulai menemukan kembali semangat belajar. Kisah ini akan ditulis pada artikel selanjutnya. Staytune, yah.