Satuan Pendidikan atau biasa juga disebut dengan sekolah(an) adalah tempat untuk menyalurkan pendidikan, pengetahuan, wawasan, ataupun banyolan. Melalui sekolah, seseorang bisa menjadi sangat terdidik, berpengetahuan, berwawasan luas, atau super banyol dalam konteks positif maupun negatif.
Di Indonesia, orang tua memiliki otoritas paling tinggi untuk memilih sekolah bagi anak-anaknya. Motif menyekolahkan anak yang beragam serta strata sosial yang berbeda-beda pula menyebabkan munculnya sekolah-sekolah baru dengan berbagai penawaran produk, fasilitas, maupun fitur. Ada yang menawarkan produk biasa dengan fasilitas sederhana dan fitur apa adanya. Ada juga yang menawarkan produk unggulan dengan fasilitas serba mewah dan fitur yang serba ada. Bermacam-macam penawaran itu, yang jelas, muncul karena adanya permintaan.
Berdasarkan strata sosial, orang tua memiliki sekolah favorit sesuai kadar kemampuannya masing-masing atau sesuai strata sosial yang ia tempati. Bagi seseorang, sekolah A adalah sekolah favorit yang memiliki banyak keunggulan dibanding sekolah lainnya, namun bagi orang lain dengan strata sosial yang berbeda, sekolah itu hanyalah sekolah biasa yang tidak memiliki kelebihan untuk dijadikan sebagai sekolah favorit.
Orang tua memiliki kecenderungan untuk menyekolahkan anaknya di sekolah yang terbaik dengan ukurannya masing-masing. Melihat pola pemilihan sekolah yang ada di lingkungan tempat tinggalku sekarang, di salah satu desa di kabupaten Bojonegoro, setidaknya ada 5 aliran orang tua dalam memilih sekolah untuk anaknya:
Golongan Pertama: orang tua mempertimbangkan berdasarkan biaya sekolah minimum. Semakin kecil biaya sekolah yang dikeluarkan maka orang tua golongan ini akan menjadikan sekolah terkait (menerapkan biaya paling murah) sebagai sekolah favorit. Golongan ini masih mendominasi karena memang kesadaran orang tua akan pentingnya pendidikan masih rendah dan kondisi perekonomian warga yang bergantung pada sektor agraria. Banyak orang tua yang tidak jadi menyekolahkan anaknya karena ketika musim pendaftaran sekolah bersamaan dengan musim tanam. Orang tua lebih memilih sisa harta yang dimiliki (ternak atau hasil panen) digunakan untuk modal tanam daripada untuk mendaftarkan sekolah anaknya.
Golongan Kedua: orang tua memilih sekolah anak berdasarkan gengsi. Mereka memilih sekolah yang dianggap berkelas bagi mayoritas warga. Soal biaya mahal ataupun lokasi jauh dari rumah tak jadi soal yang penting bisa mempertahankan strata sosial yang didudukinya, yaitu strata kaum priyayi.
Golongan Ketiga: orang tua memilih sekolah berdasar pertimbangan layanan penitipan. Sebagian orang tua yang sudah merasa lelah mengurus anaknya akan mengirim anak-anaknya ke sekolah yang memiliki asrama atau pondok pesantren yang memiliki sekolah formal. Intinya mereka mencari fasilitas tinggal (mondok/tinggal di lingkungan sekolah) dengan harapan lebih bisa memacu anaknya untuk menjadi lebih baik. Kegusaran atau kejenuhan dalam mengoreksi anak mereka limpahkan ke manajemen sekolah dan asrama. Dengan begitu, orang tua lebih tenang karena merasa sudah melakukan kewajibannya yaitu memberikan pendidikan pada anak. Mereka pun tak akan dongkol setiap hari karena sumber kegaduhan sudah dikirim ke asrama/pondok pesantren.
Golongan Keempat: orang tua memilih sekolah berdasarkan permintaan anaknya. Mereka ngikut saja pada kemauan anaknya. Entah sekolah itu bagus atau tidak, mahal atau tidak, orang tua tidak mempedulikannya. Yang penting anak senang, mereka pun ikut senang.
Golongan Kelima: orang tua memilih sekolah dengan pertimbangan yang beragam. Mereka benar-benar peduli pada pendidikan anaknya namun tetap mempertimbangkan kemampuannya dalam membiayai sekolah. Orang tua golongan ini biasanya sangat hati-hati untuk memilih sekolah. Mereka tidak mengikuti trends sekolah favorit atau meninggalkannya begitu saja. Orang tua golongan ini didominasi oleh mereka yang memiliki pikiran terbuka (open-minded) serta moderat.