Salatiga, kota yang selalu ngangeni dengan toleransi yang enggak diragukan lagi. Kota di kaki Merbabu dengan hawa sejuk ini menjadi salah satu kota impian tinggal emak K, tepaselira di Salatiga patut diacungi empat jempol. Di Bulan Ramadan ini, tradisi ramadan bagi-bagi takjil di sejumlah titik kota membuatku terharu, salah satunya di depan Gereja St Paulus Miki Salatiga.
Matahari hampir tenggelam, jalan Diponegoro mulai padat merayap. Terlihat keramaian di depan Gereja St Paulus Miki, orang-orang sedang sibuk membagikan takjil ke pengendara sepeda motor dan mobil. Di trotoar terlihat banner merah menyala; Bagi Takjil.

Auranya cerah ceria. Yang membagi tersenyum lebar, yang mendapatkan takjil tak kalah senangnya, bersyukur ada tambahan takjil pembatal puasa. Usut punya usut, ternyata yang bagi-bagi takjil adalah jemaat Geeja St Paulus Miki. Emak K mbrambang, seindah ini Indonesiaku. Saling dukung meski berbeda.
Bagi-bagi takjil setiap bulan Ramadan tiba merupakan tradisi ramadan yang menjadi agenda tetap jemaat Gereja St Paulus Miki. Dengan semangat berbagi, jamaah Gereja terlihat standbye membagikan takjil di depan gereja setiap hari pukul 17.00, sekitar setengah jam menjelang waktu berbuka wilayah Salatiga.

Emak K sampai geleng-geleng takjub, setiap hari, saudara kita ini standbye di jalan membagikan takjil kepada mereka yag berbeda keyakinan. Saat menyusuri jalanan kota untuk pulang dari Semarang bersama abah K, aku sampai bekali-kali menghapus air mata yang meleleh, Gusti, terimakasih atas persaudaraan yang indah ini.
Bagi-bagi takjil ini bukan hal yag baru. Emak K sempat membaca tulisan pakdhe Bambang Setiawan di Kompasiana tahun 2016, Gereja St Paulus Miki menyelenggarakan buka bersama yang dipelopori oleh Forum Agamawan Lintas Iman (FAMILI). Tentu saja, mereka menyediakan makanan yang halal. Kegiatan ini terinspirasi dari istri mantan presiden Indonesia alm Abdurrahman Wahid, Ibu Sinta Nuriyah Wahid.

Salatiga memang toleransinya bikin hati mengharu-biru karena haru. Di lapangan Pancasila saja sudah terlihat betapa heterogennya kota kecil ini. Barat lapangan Pancasila ada masjid besar Darul Amal, sebelah selatannya ada gereja, jalan ke timur sekitar 500 meter ada kelenteng.
Setiap natal tiba, umat Nasrani merayakannya di Lapangan Pancasila, begitu adzan shubuh akan berkumandang, yang sedang merayakan Natal langsung menyetop sound systemnya hingga dzikir shubuh usai.
Jika kebetulan sholat ‘ied berbarengan dengan jadwal ibadah gereja, gereja dengan legowo akan mengundur jadwal ibadah karena sholat ‘ied umat muslim waktunya terbatas setelah terbitnya matahari hingga condongnya matahari.
Duh, emak K nulis ini sambil nahan air mata terharu. Semoga tetap awet terjaga semangat toleransinya Salatiga. Tetap berbagi tanpa memandang statusnya. Tetap menghargai dan saling legawa.
Bulan Ramadan ini yang bahagia enggak cuma umat muslim, umat non muslim pun ikut berbahagia, menikmati momen-momen dimana jalan ramai jelang maghrib, ikut meramaikan buka bersama dan bagi-bagi takjil, bahkan ikut menunggu idul fitri, dimana hari-hari sibuk untuk menjalin silaturahmi.