Aku meyakini bahwasannya anggapan umum “Indonesia adalah negara miskin yang berdaulat di atas kekayaan alam yang melimpah” hanyalah mindset sebagian besar bangsa Indonesia yang kurang bersyukur. Buktinya apa? Pendapatan pemkab gunung kidul mencapai 2 milyar selama hari raya idul Fitri tahun 2017 sebagaimana diberitakan oleh Jogjanews.
Pemkab Gunung Kidul adalah salah satu pemerintah kabupaten/kota yang memiliki obyek wisata bisa diandalkan menjadi PAD. Jika semua pendapatan dari sektor pariwisata seluruh Indonesia dijumlah pada saat liburan hari lebaran yang sama maka pendapatan akan mencapai triliunan rupiah. Apakah mungkin sebuah negara miskin bisa mendapat jumlah segitu dalam kurun waktu beberapa hari saja? Itu baru dari satu sektor. Belum lagi ditambah dengan sektor lainnya.
Bukti lainya kalau negara Indonesia tidaklah miskin semakin maraknya acara hiburan dan/atau zona hiburan atau wisata. Ada wisata alami, ada buatan, kid zone, cafe-cafe untuk bersantai, longue corner, dan lain sebagainya. Intinya, tempat-tempat hiburan itu rata-rata padat dikunjungi oleh masyarakat menengah ke atas.
Bukti lain lagi adalah kebutuhan semi primer kebanyakan masyarakat Indonesia sekarang bertambah yaitu paket data atau koneksi internet. Koneksi internet itu sebenarnya bukan merupakan vasilitas utama untuk kerja melainkan untuk mencari hiburan melalui sosial media, layanan multimedia, game, dan lain sebagainya. Kemampuan masyarakat untuk menyisihkan sebagian pendapatan untuk mendapatkan hiburan bukanlah karakter orang miskin.
Bukti lainnya adalah banyaknya acara-acara televisi yang menyajikan hiburan beraneka ragam. Paling tidak acara hiburan mendominasi atau mendapat porsi lebih banyak dibandingkan dengan acara lainnya. Kecenderungan manusia memang suka mendapatkan hiburan namun, kesempatan untuk mendapat hiburan itu bukanlah merupakan ciri-ciri masyarakat miskin. Sesuai hukum ekonomi yang berbunyi “adanya penawaran karena adanya permintaan” maka dominasi acara bertema hiburan itu jelas karena permintaannya yang tinggi.
Aku baru setuju kalau bangsa Indonesia secara umum dikatakan sebagai bangsa yang memiliki kesadaran literasi rendah. Hal ini dibuktikan dengan rendahnya frekuensi sirkulasi buku di perpustakaan, rendahnya minat baca siswa atau peserta didik maupun pendidik. Rata-rata mahasiswa hanya membeli buku yang diwajibkan oleh dosen pengampu. Hanya sedikit saja yang mempunyai inisiatif membeli buku yang relevan dengan mata kuliah atau yang dapat mendukung keluasan wawasan keilmuan pada bidang jurusan yang diambil.
Aku berfikir mengenai penggantian acara-acar hiburan itu dengan sesuatu yang dapat meningkatkan kesadaran akan pentingnya literasi misalnya: mengganti audisi dangdut, audisi komedi, atau audisi-audisi lainnya dengan audisi pnciptaan atau inovasi suatu teknologi. Selain itu, lomba agustusan seperti panjat pinang, makan kerupuk, memasukkan benang ke jarum, lari kelereng, dll. yang sejenis bisa diganti dengan perlombaan inovasi teknologi kecil-kecilan seperti membuat perangkap tikus, daur ulang sampah, stek/cangkok, hidroponik, dan lain sebagainya yang biayanya terjangkau.
Aku membayangkan ramainya audisi inovasi teknologi di Indonesia. Audisi itu mengundang praktisi teknologi dari Industri dan para pakar yang benar-benar mumpuni untuk menjadi juri atau tim penilai. Teknologi yang dinyatakan menang bisa dilelang pada praktisi Industri sedangkan tim atau individu yang memenangkan audisi dibantu untuk mematenkan karyanya, dibantu pendidikannya, atau hal lainnya yang dapat mengembangkan minat dan bakatnya. Mungkinkah akan terjadi?