Gagal Bahagia atau Hanya Tertunda?

Beberapa hari yang lalu, Facebook menunjukkan sebuah foto asing ketika aku baru saja membuka aplikasi. Foto itu muncul di bagian kolom saran (sugestion) untuk diupload. Di bawahnya tertulis caption yang menyatakan bahwa hanya aku saja yang tahu. Dengan kata lain itu hanya sebuah preview ketika foto di handpone diupload nanti. Firur unik dan sangat membantu bagi mereka yang suka upload foto selfie.

Aku pun kemudian menanyakan pada si Widut terkait foto asing yang kulihat. Foto tampak buram dengan biasan warna putih akibat pantulan sinar flashlight camera membuatku tak mengenali foto siapa itu.

Setelah Widut menunjukkan sebuah album foto lama, aku baru ngeh kalau itu adalah foto ibu. Tapi, satunya, anak kecil yang di depannya siapa, aku tidak tahu. Aku hanya menebak kalau itu ya si Widut sendiri. Aku pun memintanya untuk memotret ulang menggunakan aplikasi Google Scan Foto. Aplikasi itu cukup jitu untuk mendigitalkan dan meremajakan kembali foto-foto cetak lama yang tampak usang. Aplikasi itu akan mengedit pewarnaan dan pencahayaan secara otomatis.

Foto cetak itu sudah dipotret ulang menggunakan aplikasi Google Photo Scanner. Hasilnya bisa dilihat di bawah ini.

Widi Utami
Foto Ibu dengan Widut diambil dari foto cetak lama dan didigitalkan menggunakan aplikasi Google Photo Scanner

Kemarin, aku melihat foto itu nongol diinstagram. Caption yang dibubuhkan pada foto tersebut kurang lebih intinya tentang sebuah penyesalan: Sering melakukan kesalahan namun jarang sekali minta maaf pada ibu.

Melihat hal itu, aku merasa terharu. Seraya memuji Maha Suci yang  telah menjadikan Google Photo Scanner bermanfaat.

Sejak lama aku mendambakan hal itu. Ia benar-benar menyayangi ibu sebagaimana yang ia tulis di berbagai artikel atau status. Tidak hanya ketika momen-momen tertentu karena terbawa suasana seperti ketika hari raya lebaran menjelma.

Aku sering marah pada Widut ketika ia kehilangan senyum di depan ibu. Aku katakan padanya, “kamu boleh marah, jengkel, sebel pada ibu karena memang hal itu manusiawi. Tapi usahakan jangan pernah sekalipun kehilangan senyum ketika berbicara dengan ibu. Bagaimana kamu bisa menghadiahkan mahkota untuk ibu kalau sekedar menjaga senyum saja tak bisa?”.

Rasa sebel, jengkel, mangkel, dan perasaan negatif lainnya memang mudah hinggap di hati kita. Terkadang dipicu kesalah pahaman, beda pendapat atau karena beda pendapatan. Yang terakhir ini tampaknya paling favorit.

Ketika aku merasa sebel atau mangkel pada ibu, aku berusaha sekuat hati untuk tetap tersenyum ketika berbicara padanya. Kalau aku tak mampu, aku lebih memilih mengurung diri di kamar. Jika hal ini kurang efektif biasanya aku memilih keluar rumah. Mencari teman ngobrol dan bersenda gurau sambil ngopi atau ngudud. Hal ini sangat efektif menghilangkan rasa sebel. Ketika kembali di rumah suasana bisa kembali cair.

Aku memang cenderung diam dan jarang menyahut obrolan ketika di rumah sedang berkumpul. Hal itu bukan karena aku tak suka atau acuh. Tapi aku takut kalau nafsu ikut campur dan akhirnya berusaha membujukku untuk mengambil alih perhatian ibu dari anak-anak kandungnya. Aku juga takut ada yang jelles ketika aku ngobrol akrab dengan mbak ipar. Keakraban itu bisa saja berbuah petaka jika nafsuku terlalu berambisi. Kamu tahu apa yang kumaksud? Untuk itu aku sering berkekspresi datar dan jarang memandang ketika berbicara. Caraku bergaul memang begitu. Ekspresi datar, berbicara tanpa memandang (wanita), bicara singkat adalah caraku bergaul. Itu bukanlah ekspresi kemarahan atau pancaran dari sebuah kesebelan.

Aku melihat cara Widut bergaul sangat berbeda denganku. Dia memang cenderung pasif (lebih banyak bergaul via gadget). Tapi ia sangat aktif ketika berbicara dengab orang yang sudah dikenalnya. Ketika ia bercerita akan membuat heboh dan gempar orang di sekitarnya. Ketika ia mendongeng, tidak hanya mulutnya yang bergerak tapi tubuhnya juga untuk mengekspresikan gerakan pelaku dalam dongeng. Intinya, cara bersosial Widut adalah cara aktif. Hanya saja keterbatasan pendengaran sering membuatnya pasif karena takut salah dan disalahkan.

Ia juga seorang yang penyayang. Sangat peduli. Bahkan pada orang yang sering menyakiti hatinya, mencibir pendengarannya, mengolok keburukannya tetap dipedulikan. Minimal ikut memikirkan solusi ketika mereka mendapat masalah.

Namun, masalah ibu adalah hal lain. Aku benar-benar berusaha mengajari Widut untuk memulyakan Ibu sebaik-baiknya. Bagi orang lain, ekspresi datar di depan ibu adalah hal biasa tapi bagiku hal itu adalah kesalahan fatal jika sampai dilakukan Widut. Aku sering ribut dengannya gara-gara masalah ini. Makanya ketika melihat foto itu diupload di IG dengan caption berbau penyesalan, aku merasa haru dan bahagia.
Tapi…. hari ini aku tau. Baru tau apa sebenarnya yang terjadi. Ternyata foto itu diupload ke IG dg caption tersebut adalah untuk lomba. Entah lah lomba apa aku kurang tahu. Aku hanya tahu hatiku kembali hancur. Kebahagiaan itu mendadak sirna. Keharuan itu pun lenyap seketika. Oh Widut.. Kamu sungguh terlalu.. 😢😢😢😢😢

Ahmad Budairi
Ahmad Budairihttps://bloggersejoli.com/
Seorang Web developer yang suka menulis artikel di blog. Kader Penggerak Nahdlatul Ulama (NU)

Bacaan Menarik Lainnya

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Baru Terbit