“Abang kurir, harap hati-hati bawa paketnya tuh, terlalu berat membawa pesan rindu,” tulisan tersebut terekam kamera foto tertera di paket yang dialamatkan ke Pondok Gontor. Meme lucu semacam ini menjadi bahan bercanda wali-wali santri Gontor di masa pandemi.
Meme yang tak kalah viral di kalangan wali santri Gontor adalah foto piala dan bingkisan bersampul coklat bertuliskan “Juara 1, menahan kangen” Mungkin sepintas terdengar lebay, terlalu didramatisir dan absurd, namun drama wali santri Pondok Gontor di tengah pandemi memang nyata.

Sejak Maret 2020 ketika kasus Covid-19 mulai merebak di Indonesia, pondok Gontor memutuskan menutup akses kunjungan wali santri dan melakukan karantina mandiri. Tidak ada lagi kegiatan bagi santri ke luar pondok dan santri tidak boleh dikunjungi.
Saat liburan kenaikan kelas datang dan perpulangan harus diadakan, serangkaian protokol kesehatan diterapkan. Jadwal santri balik pondok yang sempat mundur sekitar dua pekan sebelum tahun ajaran baru akhirnya diselenggarakan. Santri kelas lima yang menanti pengumuman kenaikan kelas tidak turut pulang liburan. Pondok Gontor menugaskan santri kelas lima mengelola dan merawat pondok selama libur akhir tahun ajaran.
Sekembalinya santri usai liburan, kebijakan menutup akses kunjungan tetap ditegakkan. Liburan awal tahun yang hanya 10 hari di bulan Rabiul Awal juga ditiadakan. Otomatis, santri-santri hanya bertemu orang tuanya setahun sekali, saat libur kenaikan kelas. Santri kelas 5 yang naik ke kelas 6 terhitung dua tahun tak berjumpa orang tuanya selama pandemi.
Bagaimana rasanya menanggung rindu? Jangan menanyakan hal itu pada wali santri Gontor. Ada yang benar-benar halu, rela menyeberang pulau, menempuh jarak antar provinsi dan hanya bisa menatap gerbang pondok serta bertemu santri petugas jaga gerbang yang bergegas menghampiri dan menyapa dengan sopan “maaf bapak/ibu, pondok belum dibuka untuk kunjungan wali santri”
Foto-foto wali santri berpose di depan gerbang Pondok Gontor putra dan putri pun bermunculan di media sosial dilengkapi caption “Memandang gerbang ini pun hatiku sudah senang.” Tak adakah yang mengajukan usul ke pihak pondok untuk melonggarkan aturan? Hmm sepertinya tidak.
Alasan pertama, Pondok Gontor tidak mengenal organisasi komite wali santri. Seperti umumnya pendidikan pondok pesantren, kebijakan jalannya pendidikan di pondok mutlak ada di tangan para pemimpin pondok. Kedua, wali santri Gontor senantiasa ingat nasihat T.I.T.I.P ala Kyai Hasan Abdullah Sahal.
TITIP ala Kyai Hasan Abdullah Sahal
T-ega
Menyekolahkan anak di pondok pesantren itu harus tega. Tak perlu ditangisi, sebab mereka menuntut ilmu dengan tujuan mulia. Pesantren adalah medan pendidikan dan perjuangan.
I-khlas
Melepas anak mondhok harus ikhlas, taati peraturan pondok. Pahami bahwa pendidikan pondok pesantren tentu tak senyaman di rumah.
T-awakal
Tugas manusia setelah berdoa dan berikhtiar adalah tawakal. Doakan anak-anak dan tawakal kepada Allah. Perasaan khawatir orang tua yang berlebihan bisa mempengaruhi suasana hati anak yang sedang menuntut ilmu di pondok pesantren.
I-khtiar
Tugas orang tua adalah berikhtiar agar anaknya mampu mengikuti pendidikan dengan baik. Termasuk di dalamnya adalah ikhtiar untuk mengupayakan biaya pendidikan.
P-ercaya
Percaya bahwa pihak pondok pesantren akan mendidik anak-anak sebaik-baiknya. Segala yang dialami anak di pondok adalah pendidikan, hendaknya wali santri tidak salah persepsi. Maka, kebijakan pondok di tengah pandemi mau tidak mau diyakini sebagai yang terbaik untuk para santri.
Tentu pesan T.I.T.I.P itu pula yang membuat wali santri Gontor mampu menahan rindu, tanpa berupaya menyusup ke dalam pondok mencuri-curi waktu. Percuma saja, andai nekad dan tertangkap basah, yang bakal kena sanksi tentu si santri. Hanya akan membuat ananda menjadi susah. Maka biarlah rindu tetap menjadi bayang-bayang, ingat pesan Kyai Hasan:
“Bertemulah jarang-jarang agar CINTA makin berkembang!”
Kyai Hasan Sahal