Malam sudah semakin larut dan suasana pun semakin [kamus kata=”sunyi”][/kamus]. Setumpuk pekerjaanku seperti tak berkurang sedikitpun. Ketika satu masalah terpecahkan tak disangka muncul masalah-masalah baru. Andaikata ada teman yang bisa diajak berdiskusi mungkin kepalaku bisa terasa lebih ringan. Namun mau bagaimana lagi? Ini sudah menjadi tanggung jawabku. Serumit dan seberat apapun pekerjaan akan aku tunaikan meski sering kali hak mata untuk terpejam kuabaikan.
Di luar kamar, terdengar suara si K dengan Widut tengah bersitegang. Si K tidak mau diajak tidur sedangkan ibunya yang telah menemaninya seharian sudah merasa kelelahan dan ngantuk berat. Widut terus memaksa hingga akhirnya si K mengamuk sambil menangis.
Aku tak beranjak dari tempat kerjaku. Fokusku masih tertuju pada deretan variabel yang tampak menari-nari manja seakan mengejekku yang tak kunjung mampu mengurainya. Tiba-tiba si K muncul. Senyumnya mengembang ketika ia menyingkap tirai kamar dan melihatku. Aku menyapanya datar kemudian kembali fokus pada deretan [kamus kata=”variabel”][/kamus].
Widut menyusul si K ke tempatku bekerja. Dengan memelas, ia memintaku untuk menyudahi pekerjaan untuk menemani si K yang masih ingin bermain. Aku pun mengiyakan kemudian mematikan semua peralatan kerja.
Mengapa Aku Cuek Ketika Anak Terjatuh Atau Tantrum?
Sebetulnya, aku tidak cuek. Aku memperhatikan hanya saja tidak kuekpresikan ke dalam gerakan.
Ketika anak terjatuh, aku akan menimbang seberapa besar dampaknya. Apakah ia terluka, apakah parah ataukah biasa dan atau yang lain. Ketika ia berjalan di tempat yang datar, aku biasanya akan menunggu ia bangkit kembali. Tetapi kalau jatuhnya tampak keras, aku akan segera menghampirinya dan melihat kondisinya.
Sebetulnya aku ingin mengajarkan pada si K agar dia tidak manja dan cengeng. Aku sendiri merasakan dampak dari kemanjaan yang membuatku sangat rapuh dan rentan. Akibat sikapku itu, banyak yang menganggapku terlalu tega pada anak. Terlalu [kamus kata=”sembrono”][/kamus].
Ketika si K tantrum, aku pun tak langsung ikut membujuknya agar kembali tenang. Aku biarkan Widut atau orang-orang di sekelilingnya membujuknya terlebih dahulu. Hal ini kulakukan sebetulnya untuk menjaga emosiku agar tetap stabil. Masalah pekerjaan yang begitu menguras tenaga dan fikiran terkadang membuatku tak mampu menahan emosi. Untuk itu, aku berusaha diam di tempat terlebih dahulu sambil memikirkan cara untuk membujuk si K kembali tenang. Dan ternyata ide-ide itu lebih mudah muncul ketika aku tenang. Berbeda kalau aku ikut cemas, gugup, marah, atau emosiku tidak [kamus kata=”stabil”][/kamus]. Paling-paling akan berujung pada ancaman, “kalau tidak segera tenang akan begini, begitu”. Lagi-lagi apa yang kulakukan ini mendapat [kamus kata=”anggapan”][/kamus] miring. Aku dianggap tidak peka, tidak peduli, dan lain sebagainya.
Sebuah [kamus kata=”Pleidoi”][/kamus]
Seorang ahli ibadah yang sangat miskin selalu berdoa meminta agar dia menjadi kaya. Namun setelah bertahun-tahun doanya dipanjatkan ia merasa doanya tidak dikabulkan juga. Ia masih tetap miskin. Apakah dalam hal ini Tuhan tidak peduli (cuek) padanya? Tidak sayang padanya?
Aku tidak berusaha menyamakan diriku dengan Tuhan. Jelas tidak! Hanya saja suatu hal yang kulakukan ada tujuannya. Ada sebab yang menjadi akibat, akibat menjadi sebab, sebab menjadi akibat lagi. Begitu seterusnya siklus sebab akibat.
Dalam mendidik anak, aku lebih banyak menggunakan teori pengondisian yang dikenalkan oleh Pavlov. Seringkali kasih sayang tak berwujud pada interaksi secara langsung. Dan aku nyatakan bahwa cuek yang kulakukan adalah bagian dari kasih sayang.
Aku sadar bahwa apa yang kulakukan tidak akan selalu benar dan baik. Untuk itulah, aku menulis. Berharap ada teman yang mau mengingatkan jika aku salah.