Kecenderungan anak kecil mencari perhatian (caper) adalah merupakan suatu kewajaran. Naluri anak kecil memang begitu. Kepada siapa saja yang ditemui dan ia tak merasa malu dan takut pada mereka maka agenda untuk caper akan selalu ada dengan berbagai macam cara dan gaya.
Capernya murid kepada guru sering kali disalah artikan oleh guru-guru anyaran yang mudah baper. Capernya itu dianggap sebagai tanda bahwa si guru gebetable alias sangat pantas untuk diidolakan menjadi s̶e̶l̶i̶n̶g̶k̶u̶h̶a̶n̶ pasangan idaman. Rasa yang kegedean atau biasa disebut dengan GR itu membuat si guru terkadang menjadi salah tingkah di hadapan murid-muridnya. Wajar saja ketika suatu saat si guru menjadi tiba-tiba galak melihat kenyataan si murid yang dianggap menaruh hati padanya pamer gebetan dihadapannya.
Aku sudah sejak lama mengamati pola-pola caper anak kecil. Hal ini kulakukan pertama kali ketika masih ngajar ngaji di Surabaya beberapa tahun yang lalu. Di dua tempat TPQ yang berbeda, ketika aku ngajar, di situ bermunculan pola-pola ceper yang unik dan menarik untuk diamati. Ada anak kecil yang caper dengan cara selalu mengganggu temannya, ada yang caper dengan cara memamerkan kemampuannya diluar materi pelajaran, ada pula yang caper dengan cara menjadi penurut dan memarahi teman-temannya yang dianggap membandel.
Di Salatiga, ternyata Allah masih memberikan kepercayaan padaku untuk ngajar ngaji. Meskipun sebenarnya aku masih sering menghindar namun ternyata sulit juga untuk mencari alasan penolakan ngajar ngaji berikutnya. Akhirnya aku ngajar ngaji lagi dengan membuat kesepakatan bersama sesuai apa yang menurutku baik untuk mereka. Terlepas dari itu semua, di sini juga muncul fenomena anak-anak caper dengan beragam varian dan rasa.
Menghadapi anak caper, aku tidak bisa biasa saja. Aku membutuhkan tenaga yang ekstra untuk membuat mereka semua kebagian jatah perhatian yang cukup. Minimal tidak merasa dikecewakan apalagi sampai merasa diabaikan. Meskipun hal ini sangat sulit untuk dilakukan, aku terus berupaya menerapkan berbagaimacam jurus yang kupelajari dari referensi-referensi yang kubaca maupun kudengar dan kulihat dengan mata kepalaku sendiri.
Masuk ke dunia anak-anak adalah salah satu jurus yang selama ini cukup jitu untuk membagi perhatian dengan mereka. Ketika anak-anak itu bicara tentang game COC, Mobile Legends, War Robots, Point Blank dan lain sebagainya aku bisa ikut nimbrung di sana. Untuk itu, aku merasa perlu ikut main game yang mereka mainkan. Disamping bertujuan untuk menjadikannya sebagai alat untuk masuk ke dunia mereka juga untuk menghibur diri sendiri yang memang butuh hiburan.
Ketika aku sudah bisa masuk ke dunia mereka dan membagi perhatian yang seadil-adilnya, aku bisa membaur dan memberi instruksi yang lebih efektif. Jika aku tak bisa masuk ke dunia mereka maka biasanya instruksi yang kuberikan akan sia-sia belaka karena aku dianggap sebagai orang asing yang berkunjung ke dunia anak-anak. Namun jika aku berhasil masuk ke dunianya maka mereka akan mudah diajak berkompromi dalam urusan belajar. Apalagi kalau mereka tahu bahwa akun game yang kumiliki levelnya jauh lebih tinggi dibanding milik mereka. Maka aku akan dijadikan kepala suku dan mereka akan menjadi anggota yang sami’na wa’atho’na.