Pemilu raya yang akan berlangsung pada 2019 tahun depan sudah tampak semarak mulai saat ini. Saling serang antar kubu menjadi sajian sehari-hari di jagat perpolitikan tanah air. Satu hal yang aku amati betul-betul adalah mengenai isu “rakyat menjerit” yang digaungkan oleh kelompok tertentu. Aku pun tidak tinggal diam melihat kenyataan itu, aku berusaha mencari data apakah benar kondisi Indonesia seperti itu.
Kemarin, aku berbincang dengan emakku yang tinggal di Bojonegoro sana. Hampir satu jam, aku mengobrol dengannya mengenai banyak hal. Salah satu obrolan itu adalah mengenai harga kebutuhan sehari-hari. Aku bertanya apakah harga kebutuhan itu di sana naik tajam? Jawabnya tidak. Aku tanya berapa harga telur, katanya Rp. 20.000 s/d Rp. 22.000. Aku tanya berapa harga ayam, dijawabnya berkisar antara Rp. 30.000 sampai Rp. 45.000. Harga yang masih wajar dan terjangkau untuk ukuran orang desa seperti emak.
Emakku adalah buruh tani. Ia tidak memiliki sawah. Emak dan bapak menggarap sawah milik mbah Ji, adiknya nenekku dari bapak. Di samping itu, mereka juga menggarap sawah babatan atau garapan di tanah milik perhutani yang secara legal memang diijinkan. Pendapatanya dari menggarap sawah sering tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Akan tetapi hal itu tidak pernah membuatnya lantas menyalahkan pemerintah.
Sejak kecil, emak dan bapak memang hidup di bawah garis kemiskinan. Hutangnya menumpuk. Gali lobang tutup lobang adalah hal yang biasa ia lakukan. Untuk mendaftarkanku sekolah Aliyah saja harus hutang dengan pak lik. Itu pun mengembalikannya bertahun-tahun kemudian.
Hari ini, aku sadar bahwa terlahir dari keluarga miskin membuatku berkesempatan belajar banyak hal. Belajar hidup sederhana dan menerima kenyataan hidup dengan penuh kesadaran dan rasa syukur.
Aku juga sangat bersyukur memiliki istri yang bisa diajak kompromi. Ia tidak keberatan membagi pendapatanku atau pendapatannya untuk dikirim ke emak. Nilainya tentu tidak seberapa dibanding pengorbanan emak dan bapak dalam membesarkanku juga mendidikku.
Emakku adalah guru kehidupan yang sejati, bapakku adalah teladan utama dalam mengarungi kehidupan. Dari mereka, aku belajar kepekaan sosial. Aku pernah nekat hutang pada teman $200 untuk kupinjamkan kepada tetangga yang membutuhkan. Aku menjamin yang akan mengembalikan kalau tetangga itu tidak mengembalikan. Aku pernah mengurungkan niat untuk beli handphone karena ketika mau berangkat (sudah bersiap-siap) malah ada orang datang dan meminjam uang. Aku sungguh sangat tidak tega mendengarkan orang berkeluh kesah padaku apalagi jika teringat kondisi emak dan bapak yang jauh di seberang sana. Aku selalu berdoa semoga apa yang aku lakukan di sini dibalas Allah kepada orang tuaku. Tidak hanya orang tua kandungku tetapi juga orang tuaku dari istriku.
Ya! Meskipun sebetulnya aku juga memiliki hutang dan kondisi ekonomi juga belum stabil akan tetapi aku merasa embuh jika ada yang sambat. Aku selalu merasa tidak kuat untuk menahan diri. Entah ikhlas atau tidak, itu bukan menjadi urusanku. Yang penting aku bisa melihat senyuman orang-orang di sekitarku. Itu sudah sangat cukup.