Rencana menikah yang beberapa kali gagal membuat angan itu melemah. Impian menikah di saat masih berstatus mahasiswa kian memudar seiring berjalannya waktu menapaki kegagalan demi kegagalan. Upaya terakhir itu sebnarnya telah membuatku merasa putus asa dan mengurungkan niat. Masa-masa tragis penuh kekecewaan membuatku kehilangan sisi romantis yang pernah kupelajari dari para [kamus kata=”pujangga”] cinta.
Aku mengenal Widut saat dunia terasa gelap. Ia datang laksana bidadari penyelamat kehidupan di saat aku terkulai lemas menyimpul nafas menanti ajal. Keriangannya membuat diri ini sedikit demi sedikit mampu untuk bangkit menatap masa depan. Masa akan datang yang dipenuhi segudang impian dan cita-cita. Puteri kayangan itu juga impian yang melangit sama seperti yang telah kurenda dalam [kamus kata=”hikayat”] sanubari.
Aku hanya memiliki waktu untuk saling mengenal dengan Widut sebatas tiga kali bulan [kamus kata=”purnama”]. Waktu yang cukup singkat untuk mengenal dan belajar saling mengerti antara dua insan yang saling memiliki keterbatasan. Pendengaran Widut yang ditangguhkan itu sebenarnya bukan masalah besar yang perlu disikapi dalam urusan membangun rumah tangga. Aku telah siap lahir batin menerimanya sejak belum mengenalnya. Hanya saja untuk urusan romantika hubungan dan ekspresi kasih sayang membutuhkan waktu lebih lama bagiku untuk menyesuaikan dengan kondisinya. Aku belum pernah mengenal atau sekedar berinteraksi dengan gadis yang pendengarannya ditangguhkan. Untuk itu, aku perlu waktu tambahan untuk belajar menyesuaikan diri. Namun, tiga kali bulan purnama sudah tidak bisa ditawar.
Upaya untuk belajar romantis di awal-awal menjalin hubungan sering mendapati kegagalan. Untaian kata-kata yang kurangkai untuk mengekspresikan perasaanku seringkali ditangkap Widut sebagai suatu omelan yang tak layak untuk didengar. Sekali dua kali usaha itu kuupayakan masih tetap mendapati hasil yang sama. Kebuntuan dalam mencairkan suasana melalui romantisme hubungan yang gagal kulakukan sempat membuatku linglung akan hubungan. Hubungan itu menjadi semakin kaku dan tawar meskipun usia hubungan kami masih bisa disebut dengan [kamus kata=”pengantin”] baru.
Jalinan [kamus kata=”asmara”] yang kurajut bersama Widut melalui ikatan pernikahan melewati masa-masa kritis penuh keterbatasan. Ada kalanya keterbatasan komunikasi, keterbatasan materi, ataupun keterbatasan daya saling mengerti. Semuanya itu menjadikan harmonisasi hubungan semakin sulit dilakukan. Jangankan hubungan romantis, sehelai senyum pun terkadang sulit di dapat. Puncak kemarau itu terjadi sekitar setahun setelah ikrar nikah kudendangkan. Beberapa [kamus kata=”pasang”] waktu sebelum kuputuskan untuk menyegerakan memiliki buah hati.
Aku teringat ketika suatu hari temanku berkata, “semua masalah bisa diselesaikan di warung kopi”. Aku pun kemudian memutuskan untuk menyiapkan sebuah agenda mbolang untuk merajut kembali hubungan yang kian terasa [kamus kata=”gersang”]. Awalnya, agenda mbolang itu tampak sama sekali tak memberi pengaruh apa-apa. Kami masih canggung untuk saling mengekspresikan perasaan. Namun lama-lama kami bisa merumuskan apa itu hubungan yang romantis sesuai dengan [kamus kata=”gaya”] hubungan kami.
Satu foto yang berhasil mengingatkanku masa-masa saat menembus kemarau hubungan adalah foto ini: