Seseorang berkata, “orang yang tekun beribadah seorang diri di puncak gunung belum tentu lebih baik dibanding dengan orang yang beribadah di tengah merajalelanya maksiat”. Di sini, unsur perjuangan untuk ibadah di tengah-tengah orang ahli maksiat bisa dianggap lebih bernilai dibanding orang yang di puncak gunung tanpa godaan maksiat sama sekali.
Di zaman yang banyak orang saling berebut benar versinya masing-masing, kita tanpa sadar bisa ikut terjerumus ke dalamnya. Ada kalanya kita merasa beribadah, merasa memerjuangkan agama namun sebetulnya tidak. Kita memerjuangkan hawa nafsu kita sendiri. Kiai Ahmad Asrori Al-Ishaqi pernah berkata, “seseorang yang memiliki penyakit hati bisa jadi ibadah yang dilakukannya menambah besar penyakit hati didalamnya”. Hal ini ibarat orang yang makan makanan bergizi tetapi malah membuat penyakit yang dideritanya semakin parah semisal orang memiliki penyakit gula darah yang mengonsumsi makanan yang manis-manis atau orang yang menderita darah tinggi makan sate kambing. Makanan itu mungkin saja bergisi tetapi tidak baik dikonsumsi mereka yang memiliki penyakit tersebut.
Selain lupa, penyakit orang yang memiliki ilmu adalah merasa paling pintar. Apa pun hal yang didengar bisa dikomentarinya. Dibahasnya meskipun sebetulnya tidak memiliki ilmu yang mumpuni dibidang itu. Kita bisa melihat orang yang mudah membicarakan agama dan menyalahkan orang lain yang berbeda pendapat padahal keilmuannya tentang agama masih dangkal. Ada juga yang sok bijak mengomentari permasalahan banjir, gempa bumi, tanah longsor, dan bencana lainnya namun sebetulnya ilmu tentang hal itu tidak dimilikinya. Mereka berkomentar asal bunyi.
Perkembangan teknologi informasi saat ini membuat orang dengan mudah mendapat informasi dari berbagai belahan dunia. Keramaian itu tentu saja bisa membuat keramaian di otak penerima informasi sehingga berusaha mengolah informasi itu menjadi produk informasi baru yang siap edar. Kalau kita tidak bisa menahan diri, maka kita akan memproduksi informasi baru meskipun tanpa kemampuan ilmu yang mumpuni di bidang informasi tersebut.
Kita perlu belajar hening di tengah keramaian informasi. Menahan diri untuk tidak memproduksi informasi baru tanpa terlebih dahulu mendalami ilmu terkait informasi tersebut. Nabi Muhammad pernah bersabda bahwa selamatnya manusia tergantung pada lisannya. Untuk itu, kita, sebagai blogger harus benar-benar selektif untuk menerima dan memproduksi informasi.
Kita tidak bisa menulis apa saja yang berkecamuk di dalam fikiran tanpa mempertimbangkan kemungkinan yang ditimbulkan dari tulisan yang kita buat. Meskipun andaikata tulisan kita yang diterbitkan di blog tidak ada yang membaca sama sekali, kita harus tetap ingat bahwa catatan amal tidak akan melewatkan usaha kita dalam menulis setiap huruf.
Marilah bersama-sama belajar hening. Belajar merasa. Belajar merenung. Semoga dengan begitu, nafsu kita tidak serakah untuk mencari pengakuan menjadi blogger terkenal atau penulis yang disegani.