Tadi malam, aku membaca berita ada ketua RW dan RT yang dipolsikan karena diduga telah menjadi provokator bagi warga untuk mengarak sepasang muda-mudi yang dicurigai telah melakukan perbuatan mesum. Menurut berita yang kubaca, kedua pasangan tersebut diarak dengan bugil. Bentuk sanksi sosial yang telah disepakati di sana, katanya.
Aku jadi teringat seseorang nun jauh di sana yang uneg-unegnya dibacakan di muka umum sebagaimana terdakwa dibacakan tuntutan atas kesalahannya di depan yang mulia hakim. Sungguh suatu ironi. Seorang yang begitu teguh berusaha sekuat tenaga berjibaku melayani masyarakat diperlakukan seperti itu.
Menghakimi seseorang di depan publik bukanlah menjadi solusi satu-satunya. Mediasi antara kedua belah pihak yang berselisih bisa dilakukan dengan cara senyap agar tidak menimbulkan wirang (rasa malu) bagi salah satu pihak maupun keduanya. Okelah jika seseorang merasa tak mengapa dihakimi di depan publik. Tetapi apakah kalian bisa menjamin bahwa keluarganya bisa santai saja sebagaimana orang yang kalian hakimi itu?
Aku mau bertanya: pernahkah kalian membaca syarat maupun rukun menjadi hakim? Lalu kalian merasa bisa memenuhi ssyarat jadi hakim dan mampu menjalankan rukunnya? Lalu kalian juga merasa bahwa keputusan yang kalian ambil tidak didorong oleh nafsu dan kebencian? So, mulai saat ini, aku boleh memanggil kalian dengan sebutan hakim?
Wahai yang mulia hakim, sungguh daku tak berdaya melawanmu. Jangankan mengata-ngataimu sebagai sengkuni, menganggapmu sebagai warga biasa pun daku tak berani.
Wahai yang mulia hakim, seberapa banyak diriku harus beristighfar padamu agar tidak menjadi terdakwa yang berhak dihakimi olehmu maupun hakim lainnya? Sungguh aku tak mampu membayangkan jika hal itu terjadi padaku maupun keluargaku.
Wahai yang mulia hakim, daku adalah orang yang bodoh. Daku tak tahu apa-apa. Tentu saja yang mulia hakim adalah orang yang tahu segalanya. Untuk itu, sudikah kiranya yang mulia hakim membimbing daku yang hina ini? Tentu ke jalan yang lurus yang diridlai. Bukan jalan lurus untuk mengejar kekuasaan yang sampai tega menyikut-jegal orang-orang yang dirasa berseberangan.
Wahai yang mulia hakim. Aku berharap kalian mampu menjadi hakim yang bijaksana. Karena jika tidak, daku akan menuntut kebijaksanaan itu di hari pembalasan nanti.
Wahai yang mulia hakim, ingatlah jika kalian berlaku sewenang-wenang menggunakan kekuasaan kalian maka kami bangsa sudra ini mungkin akan berani melawan di kemudian hari. Bangsa sudra tidak akan bangkit untuk melawan jika kalian tidak berperilaku konyol alias wagu tur saru.
Wahai bangsa hakim, tunjukkanlah akhlak kalian dan kami-pun akan mengahadpinya dengan akhlak kami. Itulah kalian dan inilah kami. Jangan memulai keributan jika tidak bisa mengakhiri atau kalian akan menyesal di kemudian hari.
Wahai yang mulia hakim, orang yang kalian permalukan tempo hari adalah orang yang kuhormati. Untuk itu, aku tidak akan tinggal diam. Santai saja, pak hakim. Aku bukan orang yang suka membalas dendam. Hanya saja gusti Allah yang maha adil selalu mengabulkan permintaan hambanya. Daaan permintaanku adalah semoga Allah segera menghapus sakit hati ini dariku dan tidak terjadi apa-apa pada kalian. Semoga.