Secara umum, orang tua menginginkan memiliki anak yang penurut atau mudah untuk diarahkan melakukan ini dan itu. Namun pada kenyataannya banyak anak yang suka menentang arahan orang tuanya meskipun itu sebetulnya baik bagi si anak.
Anak yang tidak mau menuruti arahan orang tua (selanjutnya disebut berontak) merupakan suatu kewajaran jika dilihat dari salah satu perspektif tentang pengasuhan anak. Orang tua tidak perlu ambil pusing untuk mencari atau melakukan berbagai upaya untuk menundukkan anak agar bisa diarahkan sesuai kemauannya. Karena sebetulnya anak juga ingin dimengerti dan dituruti kemauannya. Bukan hanya menuruti apa-apa yang didiktekan padanya.
Penyebab Anak Berontak
Perilaku menentang anak bisa disebabkan beberapa faktor internal maupun eksternal. Sebagai orang tua, seyogyanya bisa mengenali dan mengetahui apa penyebab anaknya menentang kehendak orang tua. Faktor-faktor tersebut diantaranya adalah:
- Faktor kebiasaan: anak yang sudah terbiasa melakukan suatu hal akan sulit ketika disuruh melakukan hal lain yang menurut anak bertentangan dari kebiasaannya. Misalnya anak yang terbiasa tidur tengkurap akan sulit jika langsung diminta untuk tidur dengan posisi miring atau terlentang (jawa: mlumah).
- Faktor rasa takut: Sebagian anak memiliki rasa takut yang agak berlebihan ketika dihadapkan dengan orang, suasana, atau hal baru. Ia lebih memilih menghindarinya daripada menghadapinya. Jika orang tua memaksa untuk menghadapkan anak dengan itu semua maka potensi anak berontak akan tinggi.
- Faktor rasa malu: Anak pemalu cenderung memilih untuk menyimpan perasaannya. Meskipun sebetulnya ia ingin melakukan suatu hal namun karena rasa malu yang begitu tinggi maka ia lebih memilih menyembunyikan ekspresinya. Ia akan tampak enerjik di depan orang-orang yang sudah dianggap familiar namun cenderung bungkam dan pasif ketika bertemu dengan wajah-wajah baru.
- Faktor kedekatan emosi: Seorang anak sering kali memiliki kedekatan emosi dengan orang-orang yang sering berinteraksi dengannya. Namun interaksi itu tidak hanya sekedar interaksi sekedarnya saja. Sebagaimana orang dewasa yang bisa condong dengan seseorang karena adanya unsur-unsur persamaan, seorang anak juga begitu. Anak tidak bisa hanya sebagai objek aksi yang hanya diperintah ini dan itu dan hanya diminta memberi respon. Ia juga harus diberi ruang untuk menyampaikan aksi dan mendapatkan respon. Seseorang yang tidak memiliki kedekatan emosi dengan anak akan cenderung ditentang oleh anak meskipun orang tuanya sendiri yang setiap hari bersamanya.
Cara Menghadapi Anak yang Suka Berontak
Perlu aku tekankan lagi, di sini aku menulis cara menghadapai anak yang suka berontak. Bukan cara mengatasi anak yang suka berontak. Kenapa demikian? Karena anak memiliki hak untuk berontak dan tidak begitu saja mengikuti apa-apa yang diperintahkan padanya. Anak yang sedari kecil kehilangan rasa untuk berontak akan mudah dikendalikan orang lain. Ia cenderung suka ikut-ikutan apa yang dilakukan oleh orang-orang di sekitarnya. Kekuatannya memegang prinsip telah tumpul sejak ia kecil dikikis habis oleh keegoisan orang-orang yang mengurusnya.
Menghadapi anak yang suka berontak perlu mengetahui kebiasaannya, kesukaannya, karakternya, dan lain-lain. Hal ini sebenarnya tidak bisa digeneralisasi. Hanya saja, secara umum, anak itu memiliki perasaan yang sama seperti perasaan orang dewasa. Hanya saja daya nalarnya yang belum matang membuat mereka sulit untuk diajak berpikir mana yang lebih baik antara dua hal. Misalnya antara keinginan orang tua dengan keinginan si anak.
Ketika anak belum mampu untuk diajak menggunakan nalar maka ia perlu diajak melakukan pembuktian secara langsung. Misalnya anak ingin memainkan gelas yang berisi wedang kopi panas maka ketika ia dilarang akan berontak. Ia tidak tahu apa itu panas karena memang belum pernah merasakannya. Lagipula memang rasa tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata atau ekspresi. Untuk itu anak perlu diajak membuktikan secara langsung agar tidak semakin penasaran. Secara hati-hati, orang tua bisa memegang tangan si anak kemudian mengarahkan ujung jari anak untuk menyentuh gelas yang panas itu. Biar si anak merasakan langsung apa itu panas. Percobaan merasakan panas itu akan menimbulkan kesan yang mendalam bagi anak sehingga suatu saat ia mendengar kata panas akan berkespresi seperti pertama kali ketika ia merasakannya.
Jika anak memberontak karena rasa takut, malu atau karena perasaan lainnya maka orang tua perlu melatih agar si anak bisa mengendalikan perasaannya (bukan menghilangkannya!). Perasaan itu sangat diperlukan bagi anak hanya saja pada beberapa kesempatan, anak perlu diajari cara mengendalikan perasaannya agar tidak memasungnya dalam kesendirian dan kesepian padahal sebenarnya ia ingin berbaur bersama teman-temannya. Untuk mengajari anak mengendalikan perasaan paling mudah adalah menghadirkan seseorang yang dianggap ideal bagi anak yang masih sebaya dengannya. Anak pemalu yang dikumpulkan dengan orang yang sebaya akan saling mempengaruhi. Di dalam kaidah ilmu sosial tidak ada yang pasti. Misalnya jika di dalam matematika 1 apel ditambah 1 apel menjadi 2 apel maka di ilmu sosial tidak begitu. 1 orang pemalu ditambah 1 orang pemalu bisa menjadi 2 orang pemberani atau 2 orang pemalu. Jadi satu faktor tidak bisa digunakan secara mutlak untuk mempengaruhi faktor yang lain. Perlu ketelitian dan ketelatenan.
Terakhir, jika berontak itu disebabkan karena minimnya kedekatan emosi dengan anak maka orang tua atau pengasuh perlu usaha untuk mendekatkan emosi. Frekuensi pertemuan tidak selalu bisa membuat kedekatan emosi terjalin. Terlebih jika komunikasi yang terjalin hanya berupa komunikasi satu arah. Komunikasi dua arah yang yang berupa say hello (jawa: abang-abang lambe) pun sulit untuk mendekatkan emosi. Kedekatan emosi bisa terjalin jika keduanya (pemberi aksi maupun reaksi) saling mengerti dan berusaha saling memahami situasi dan kondisi masing-masing. Orang tua yang suka menyuruh ini dan itu anaknya tanpa memperdulikan situasi dan kondisi anaknya akan cenderung sulit membangun kedekatan emosi dengan anak. Orang tua yang selalu menuruti apa pun yang diminta anak tanpa berusaha memahami perasaan anak juga akan sulit menjalin kedekatan emosi. Intinya keduanya harus saling terbuka. Anak perlu diberikan ruang untuk didengar, diperhatikan, dan keberadaannya di dalam keluarga perlu dihargai sebagai anggota keluarga yang memiliki hak untuk berpendapat. Tidak hanya melulu diperintah (diatur) atau dituruti (dimanja) sesuai kehendak orang yang lebih dewasa. Amd.