Dunia ini cukuplah indah untuk dinikmati apabila kita bisa menempatkan (ngelungguhno: jawa) hati pada tempatnya. Namun, terkadang, hati yang duduk bersanding dengan nafsu sulit untuk dikendalikan terlebih ketika kedudukan nafsu lebih tinggi dan memaksa hati untuk tunduk dan patuh atas setiap kemauannya.
Kita sebagai manusia memiliki derajat yang sama. Sama-sama makhluk nista yang dicipta dari zat menjijikkan. Tanpa keagungan (fadhol) dari Allah dan juga kehendak (irodah) dari-Nya kita akan tetap menjadi makhluk yang menjijikkan. Kemuliaan yang dinisbatkan kepada manusia sebetulnya merupakan pancaran dari keagungan dan kasih sayang Allah.
Luasnya keagungan Allah memberi kesempatan pada setiap manusia yang hakikatnya menjijikkan untuk mengenal dan menyebut (dzikr) Dzat Yang Maha Suci. Tidak takut kesucian-Nya ternoda oleh sapaan makhluk yang dzoif dan menjijikkan.
Ukuran hati manusia secara umum hampir seragam namun, daya rasanya (fuad) sangat beragam. Orang yang bertubuh besar dan kekar belum tentu memiliki perasaan yang besar. Pun sebaliknya. Besarnya perasaan tidak dapat kita ukur hanya dengan bercanda-tawa, bersenda-gurau, bertukar pikiran, dan aktivitas-aktivitas fisik lainnya. Besarnya perasaan bisa dirasakan melalui hubungan ruhani (silatur ruhiyah) antar sesama manusia. Hubungan ruhani terjalin karena fuad memancarkan suatu gelombang yang bisa ditangkap oleh fuad yang memiliki frekuensi sama. Hubungan ruhani itu seringkali disebut dengan istilah ikatan batin.
Mendudukkan hati pada tempatnya sangatlah diperlukan agar kita bisa selalu bisa menerima (legowo: jawa) kenyataan-kenyataan yang kita hadapi. Apapun bentuknya! Ketika kenyataan itu berupa duka, kita bisa mendudukkan hati di singgasana kesabaran. Sebaliknya ketika kenyataan hidup yang kita alami berbentuk kenikmatan, hati bisa kita ajak duduk manis di dalam istana kebersyukuran. Jika kita mampu mendudukkan hati seperti itu maka bunga keindahan akan bermekaran memancarkan wewangian yang semerbak harumnya bisa dirasakan oleh fuad-fuad yang lain. Hal ini biasa disebut dengan istilah inner beauty.
Suatu hari, istriku pernah berhujan tangis namun, ia berusaha menyembunyiannya dariku. Naluriku mengatakan ada suatu hal yang mengganggunya. Ketika isak tangisnya mereda, ia bercerita padaku jika ada perlakuan sekelompok orang melukai perasaannya. Ia diolok-olok dikarenakan kondisi pendengarannya. Perlakuan yang terus berulang hingga sekarang.
Mendengar istriku dibully ramai-ramai maupun munfarid, sebetulnya membuatku sedikit emosi namun, aku berusaha menahannya. Aku berusaha mengamalkan ilmu mendudukkan hati serta memberi contoh yang baik. Aku mengajak istriku bersafari ke dalam taman yang penuh dengan bunga bermekaran. Ketika perasaan emosi itu sulit dikendalikan, aku mengajaknya berkunjung ke gudang kesalahan. Mengamatinya satu persatu hingga merasa jijik dengan diri sendiri sehingga merasa tidak pantas untuk membenci orang lain.
Aku sangat keras (jika tidak pantas dikatakan tegas) dalam hal mendidik istriku. Terkadang, perlakuan itu membuatnya cemburu manakala melihatku bisa bermanis kata dengan orang lain namun terasa kasar ketika bertutur padanya. Sebenarnya, itulah bukti cintaku padanya. Aku sangat protektif kepada orang-orang yang aku cintai. Aku tidak akan ragu untuk menegur bahkan membentak jika diperlukan ketika orang yang kucintai melakukan kesalahan. Termasuk kesalahan membenci orang yang telah membuat perasaannya terluka. Aku tidak ingin istriku terbawa arus kesalahan yang dipancarkan oleh pembullynya. Perlakuan bully itu ibarat paket kiriman berisi permata yang dibalut dengan kulit hewan busuk yang penuh dengan bercak-bercak tinja. Butuh sedikit perjuangan untuk bisa menikmati isinya.
Berkali-kali istriku mengekspresikan kecemburuannya pada orang lain yang dirasa lebih kupedulikan. Sebanyak itulah usahaku untuk menjelaskan tentang caraku menyintainya. Aku katakan padanya bahwa di dalam diam atau gerakku selalu ada perhatian untuknya. Hanya saja bentuknya berbeda-beda.
Aku meyakini bahwa siksaan yang paling menyakitkan adalah pengabaian. Sebagaimana pengabaian yang dilakukan Allah kepada iblis sampai hari kiamat nanti. Arrajim, gelar yang disandang iblis oleh sebagian ulama ditafsiri sebagai (yang diabaikan). Hukuman pengabaian ini yang pernah dikeluhkan iblis (berdasarkan suatu riwayat) kepada nabi Musa. Keyakinan itu yang membuatku merasa harus selalu memberi perhatian pada istri bagaimanapun bentuknya.
Aku berharap tulisan ini bisa sedikit menghiburnya manakala ia mendapati perlakuan yang tidak enak serta menguatkan tekadnya untuk bisa lebih mendudukkan hati. Bisa lebih legowo. Kita ini manusia jijik, pantas untuk dihina, sayang.
Your Habibi
Nusagates