Aku Lelah Menjadi Penulis Kode

Pekerjaan menjadi penulis kode sudah kutekuni dalam waktu yang cukup lama. Pekerjaan ini, dulu, sangat kuimpikan. Rasanya sangat keren berprofesi menjadi penulis kode yang bisa mengklaim dirinya sebagai programmer. Profesi yang banyak dibidik mahasiswa seangkatanku. Hal ini dibuktikan dengan data calon mahasiswa yang mendaftarkan diri di jurusan Teknologi Informasi (TI) di kampus Unesa Surabaya melebihi kuota waktu itu. Aku bukan salah satunya. Aku malah mengambil jurusan Pendidikan Geografi.

Sejak perkenalanku dengan kode, dimulai dari ketertarikanku terhadap keunikan formula Excel, aku berusaha menggali pengetahuan seluas-luasnya tentang dunia kode. Aku mulai mempelajari Javascript, Java, C++, Visual Basic, Action Script 2.0. Selain itu, aku juga memelajari HTML, CSS, XML, dan bahasa pendukung markah. Setelah satu persatu kupelajari dan memahami sintax dasar, aku beralih untuk memelajari bahasa server. ASP yang pertama kupelajari. Waktu itu meminjam buku tentang ASP di perpustakaan kampus pusat Ketintang lalu kubawa ke warnet untuk praktek. Beberapa tahun kemudian, aku baru intens memelajari PHP. Mulai mengenal jQuery dan disusul dengan Bootstrap. Hari berganti hari aku kemudian memelajari bahasa bash untuk Linux, bahasa Python, dan sesekali bermain Action Script 3.0. Di sela-sela belajar bahasa pemrograman, aku menerima orderan membuat aplikasi. Entah itu berbasis web atau berbasis desktop. Ada pula permintaan aplikasi berbasis mobile. Lebih specifiknya berbasis Android sehingga aku mau tak mau harus mempelajari cara membuat aplikasi Android. Aku masih ingat ketika memaksa notebook pertamaku untuk menjalankan Eclipse dan Android Studio secara bergantian. Menyesuaikan tutorial yang kubaca menggunakan Integrated Development Environment (IDE) yang digunakan dalam Tutorial. Jika menggunakan Eclipse maka aku ikut menggunakan Eclipse. Jika menggunakan Android Studio maka aku membuka Android Studio. Meskipun notebookku yang hanya menggunakan ram 2 GB tampak terseok-seok tetap kupaksa untuk menjalankan aplikasi tersebut. Terlebih, waktu itu aku belum mengenal ADB USB Emulator.

Perjalananku di dunia kode sudah melampaui target yang kuinginkan. Banyak project yang diminta secara bersamaan hingga aku kualahan mengatur waktu untuk sekedar mengingat kapan aku harus memulai menarget ambisiku yang lain. Bahkan dalam tidur pun kode-kode itu mengerubutiku seperti jatuhnya hujan dalam bentuk angka dan karakter. Terkadang membuatku ketakutan. Sering kali hal itu membuatku paranoid. “Di mana hafalan Qur’anku? Tidak ada satupun huruf hijaiyah yang ikut jatuh bersama jatuhnya potongan-potongan kode itu.”.

Dalam diam, aku sering menitikan airmata ketika mendengar lantunan-lantunan sholawat oleh A. As’ad bersama group An-Nabawiyah Langitan atau group Ar-Roudloh. Aku teringat ketika semangatku mengaji membuncah ditemani senandung sholawat itu. Aku masih ingat ketika ingin mendengarkan sholawat itu butuh perjuangan besar. Waktu itu, MP3 belum semurah seperti saat ini. Satu-satunya alat untuk memutar adalah menggunakan kasset tape yang sering rusak ketika diputar dan seringkali perlu dipukul berkali-kali agar kembali bekerja. Terkadang, pita kassetnya nyangkut di alat pemutarnya. Aku tidak tahu apa namanya tapi sangat akrab dengannya. Aku pun harus menggulung lagi pita itu ke dalam kasset dan aku sering memilih menggulungnya menggunakan pensil dengan cara memasukkan ujung pensil ke dalam salah satu lubang kasset kemudian memutarnya.

Hari ini, aku merasakan kejenuhan yang luar biasa. Kejenuhan menulis kode yang pernah kuidam-idamkan.

Aku baru menyadari bahwa menjadi penulis kode tidaklah senikmat seperti yang kubayangkan.

Aku harus tetap menulis kode meskipun ubun-ubunku terasa mau pecah ketika memikirkan algoritma rumit. Bagaimana harus menyelesaikan kombinasi aritmetika dengan modulus, bagaimana menyelesaikan permasalahan logaritma suatu sistem yang harus dikorelasikan dengan database. Bagaimana harus menemukan nilai dari variabel x, y, z di antara ribuan bahkan jutaan variabel yang kuhadapi sekali waktu. Aku harus tetap menulisnya. Trial and Error meskipun aku harus begadang selama 24 jam. Siapa yang peduli. Yang penting deadline tidak molor dan mendapat bayaran.

Terkadang, aku juga harus menghitung menggunakan rumus gaya dan percepatan untuk menentukan seberapa besar nilai x yang kubutuhkan untuk mengasilkan efek visual User Interface (UI) yang kurancang. Aku juga harus menggunakan rumus untuk menghitung skala. Entah itu untuk pembuatan peta digital atau membuat sebuah grafik yang membutuhkan tampilan responsive. Banyak ilmu bantu yang kuperlukan. Apesnya kebanyakan ilmu bantu itu sedikit sekali kupelajari di bangku sekolah. Aku lebih sering menghindarinya karena daya nalarku memang rendah. Ini dibuktikan dengan grafik untuk logika berada di bawah garis normal menurut hasil psikotes di Madrasah Aliyah Negeri Ngraho dulu.

Aku dituntut harus kuat. Apa pun yang terjadi, menulis kode harus jalan. Tidak perlu hiburan. Tak jua perlu untuk sekedar bersenda gurau dengan sanak famili. Berucap sekedarnya saja. Say hello seperlunya saja daripada waktuku untuk menulis kode terpotong.

Ketika aku sakit. Aku harus tetap berinteraksi dengan kode. Minimal aku membuat konsep-konsep yang kusimpan di dalam memori otakku. Aku tak butuh istirahat agar cepat sembuh. Siapa yang peduli? Biarkan saja istirahatku diakumulasi. Nanti saja saat temanku yang bernama Izroil menampakkan batang hidungnya. Hari itu aku harus benar-benar istirahat untuk menulis kode. Tidak hanya istirahat. Karirku menjadi penulis kode harus berakhir.

Ketika hatiku sedang berkecamuk. Banyak yang kupikirkan, banyak hal yang membuatku gundah dan gelisah, menulis kode pun harus tetap jalan. Siapa yang peduli? Penulis kode tahunya hanya logika. Tak perlu baper. Untuk apa sedih? Untuk apa gelisah? Semua itu pasti bisa diatasi. Bisa diselesaikan. Penulis kode diharamkan membawa perasaan.

Tapi, entahlah! Hari ini kejenuhanku tak bisa kuhindari. Aku sangat jenuh. Benar-benar jenuh. Kehidupan macam apa ini? Aku seperti tak mengenal diriku sendiri. Aku ingin bebas. Aku ingin menjadi diriku sendiri yang bisa menikmati manisnya kehidupan. Apakah aku harus mati dulu? Apa kematian itu membuatku bebas? Aku berusaha menghitungnya dengan menggunakan PHP. Mungkinkah?

Entahlah! Aku terus dituntut untuk tidak cengeng. Tidak baper. Selalu kuat. Tidak merasakan sakit. Menulis kode harus jalan terus atau banyak senyuman yang berguguran. Disalahkan, dimarahi, diacuhkan, didiamkan, atau dimaki memang jadi kebiasaan. Penulis kode harus siap jadi tempat sampah. Menjadi tempat misuhnya para peluap amarah. Tak perlu baper. Anggap saja itu proses debugging yang membutuhkan effort untuk menahan tangis.

I am programmer and i have no life.

Cheers
Nusagates

Ahmad Budairi
Ahmad Budairihttps://bloggersejoli.com/
Seorang Web developer yang suka menulis artikel di blog. Kader Penggerak Nahdlatul Ulama (NU)

Bacaan Menarik Lainnya

2 KOMENTAR

  1. Allohuakbar… maaf jika saya melibatkan nama Tuhanku… tapi tulisan diatas tak saya sadari membuat mata ini menetes dengan sendirinya… tetep sehat tetep semangat…

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Baru Terbit