Kekerasan seksual di lingkungan kampus menjadi momok yang nyata bagi masyarakat Indonesia. 77 persen dosen mengakui adanya kekerasan seksual di kampus berdasar survey yang dilakukan oleh kementerian pendidikan pada 2020 lalu. Sedangkan menurut catatan komnas perempuan terdapat 27% aduan kekerasan seksual yang terjadi di perguruan Tinggi dari seluruh pengaduan yang terjadi di lembaga pendidikan.
Permendikbudristek nomor 30 tahun 2021 tentang kekerasan seksual adalah salah satu upaya pemerintah melindungi korban kekerasan seksual di lingkuan perguruan tinggi atau kampus. Dengan diterbitkannya peraturan ini diharapkan upaya pencegahan, pemeriksaan, dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan kampus lebih mudah dilakukan.
Berikut ini rangkuman fakta-fakta menarik Permen PPKS tentang kekerasan seksual yang sedang ramai diperbincangkan oleh khalayak ramai.
Sasaran Utama adalah Perguruan Tinggi
Peraturan ini dibuat dengan sasaran utama lingkungan kampus. Namun bukan berarti kekerasan seksual diperbolehkan di jenjang pendidikan lainnya.
Nadiem Makarim pada sebuah podcast Deddy Corbuzier mengatakan bahwa anak-anak jenjang SMA kebawah dapat dilindungi menggunakan undang-undang perlindungan anak. Sedangkan para mahasiswa di lingkungan kampus tidak memiliki payung hukum yang jelas dalam menghadapi kekerasan seksual. Di satu sisi para mahasiswa itu baru belajar bertanggungjawab penuh pada diri sendiri, di sisi lain ada ketimpangan relasi kuasa atau gender yang sangat tajam. Mereka rawan menjadi korban. Oleh sebab itu sasaran utama permendikbudristek PPKS ini adalah perguruan tinggi.
Definisi Kekerasan Seksual Lebih Jelas
Definisi kekerasan seksual yang bias dapat digunakan oleh pelaku untuk membela diri. Celah inilah yang ditutup oleh permen PPKS pada pasal 1 ayat 1 yang berbunyi sebagai berikut:
Kekerasan Seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan tinggi dengan aman dan optimal.
Tindakan Kekerasan Seksual Diperinci
Untuk menghindari bias definisi pada tindakan kekerasan seksual yang dapat menjadi polemik di masyarakat, permen PPKS ini memerinci tindakan kekerasan seksual apa saja yang dimaksud sebagaimana yang disebutkan pada pasal 5 ayat 1 dan 2.
Rincian tindakan kekerasan seksual yang dimaksud pada pasal 5 ayat 2a sampai ayat 2u adalah sebagi berikut:
- menyampaikan ujaran yang mendiskriminasi atau melecehkan tampilan fisik, kondisi tubuh, dan/atau identitas gender Korban;
- memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengaja tanpa persetujuan Korban;
- menyampaikan ucapan yang memuat rayuan, lelucon, dan/atau siulan yang bernuansa seksual pada Korban;
- menatap Korban dengan nuansa seksual dan/atau tidak nyaman;
- mengirimkan pesan, lelucon, gambar, foto, audio, dan/atau video bernuansa seksual kepada Korban meskipun sudah dilarang Korban;
- mengambil, merekam, dan/atau mengedarkan foto dan/atau rekaman audio dan/atau visual Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban;
- mengunggah foto tubuh dan/atau informasi pribadi Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban;
- menyebarkan informasi terkait tubuh dan/atau pribadi Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban;
- mengintip atau dengan sengaja melihat Korban yang sedang melakukan kegiatan secara pribadi dan/atau pada ruang yang bersifat pribadi;
- membujuk, menjanjikan, menawarkan sesuatu, atau mengancam Korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual yang tidak disetujui oleh Korban;
- memberi hukuman atau sanksi yang bernuansa seksual;
- menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh Korban tanpa persetujuan Korban;
- membuka pakaian Korban tanpa persetujuan Korban;
- memaksa Korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual;
- mempraktikkan budaya komunitas Mahasiswa, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan yang bernuansa Kekerasan Seksual;
- melakukan percobaan perkosaan, namun penetrasi tidak terjadi;
- melakukan perkosaan termasuk penetrasi dengan benda atau bagian tubuh selain alat kelamin;
- memaksa atau memperdayai Korban untuk melakukan aborsi;
- memaksa atau memperdayai Korban untuk hamil;
- membiarkan terjadinya Kekerasan Seksual dengan sengaja; dan/atau
- melakukan perbuatan Kekerasan Seksual lainnya.
Bukan Untuk Melegalkan Zina
Zina atau hubungan seksual yang dilakukan dengan sukarela oleh pasangan yang tidak resmi adalah perbuatan asusila. Sama halnya dengan tindakan bully atau tawuran juga tindakan asusila. Meskipun ketiganya tidak diatur dalam permendikbudristek PPKS ini bukan berarti dilegalkan. Kerangka berpikirnya bukan seperti itu.
Zina atau seks bebas memang tidak diatur pada PPKS ini. Keduanya sudah diatur pada undang-undang lain termasuk pada norma agama, sosial, dan peraturan kampus. Peraturan ini bukan untuk mengganti undang-undang atau peraturan yang sudah ada itu.
Terdapat Satuan Tugas PPKS
Menurut survey yang dilakukan IJRS pada 2020 lalu terdapat 23,5% korban kekerasan seksual tidak tahu harus melapor ke mana dan 33,5% merasa takut untuk melapor. Dengan dibentuknya satgas PPKS ini diharapkan dapat mendorong korban untuk lebih berani melaporkan pelaku agar diperiksa dan ditindak sesuai pelanggaran yang dilakukan.
Korban kekerasan seksual membutuhkan ruang yang aman serta support system yang baik. Itulah salah satu tugas yang diemban oleh satgas PPKS agar korban kekerasan seksual tidak merasa sendirian, ketakutan, terancam, atau mengalami gangguan psikis lainnya.
Mahasiswa Dilibatkan Sebagai Satgas
Adanya ketimpangan relasi kuasa antara mahasiswa dengan pendidik dan tenaga pendidikan membuat mahasiswa seringkali menjadi korban kekerasan seksual. Pelibatan mahasiswa sebagai anggota satgas dapat mereduksi ketimpangan itu.
Mahasiswa merupakan salah satu unsur anggota satuan tugas yang diatur pada pasal 27 ayat 1c.
Adanya Unsur Perempuan Pada Satgas PPKS
Perempuan 13 kali lebih rentan mengalami pelecehan seksual menurut survey yang dilakukan KRPA pada 2018. Dengan demikian perempuan harus dilibatkan dalam menangani kasus kekerasan seksual agar lebih memahami medan serta untuk mengawal berjalannya kebijakan.
Pasal 27 ayat 4 permendikbudristek PPKS ini menyebutkan bahwa keterwakilan keanggotaan perempuan paling sedikit 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota.